Selasa 27 Dec 2016 08:56 WIB

Bagaimana MUI Dikritik dan Umat Islam Dibidik?

Lautan massa memadati kawasan Bundaran Air Mancur Bank Indonesia sebelum menuju ke depan Istana Merdeka di Jakarta, Jumat (4/11).
Foto:
Presiden Joko Widodo (kiri) berjabat tangan dengan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH. Ma

Bagaimana dengan fatwa MUI? Saya lulusan Fakultas Syari’ah, sedikit banyak punya kompetensi keilmuan untuk mengkritik fatwa MUI. Tapi saya tidak kuat, malu sekali rasanya mengkritik ulama yang saya hormati itu karena dua alasan saja:

Pertama, saya tidak punya legitimasi moral dan akhlak untuk mengkritik fatwa ulama saya. Sholat subuh masih sering terlambat, membaca kitab suci cuma sesaat, jarang puasa sunat, sodaqah juga bila ingat, apalagi saya tidak punya ilmu agama yang hebat. Saya khawatir jika mengkritik ulama, jangan-jangan saya masuk dalam kelompok orang yang sesat…

Kedua, sebagai peneliti media sosial dan agama, beberapa ulama itu pernah menjadi narasumber saya. Sedikit banyak saya tau akhlak dan wawasan asli keilmuan mereka.

Subhanallah… Akhlak mereka tidak semurah yang kita kira, dan ilmu mereka tidak serendah yang kita duga. Mereka juga belajar soal HAM, Demokrasi, Civil Society, Gender, Liberalisme, Marxisme, Politik dsb dalam perspektif yang tidak bisa kita duga tapi patut kita hargai. Bahkan, asal tau saja ya… Beberapa dari ulama tersebut juga belajar IT, mereka tau jika HP atau email mereka lagi disadap dan mereka punya tim ahli anti sadap.

Jadi khusus soal fatwa MUI ini, kita sederhanakan saja seperti fatwa haram merokok atau fatwa sah atau tidak sah sholat Jum’at di jalan raya. Mau diterima dan dijalankan silahkan, mau ditolak silahkan. Dan harus diingat juga, fatwa ini hanya untuk umat Islam.

Bagi yang tidak setuju dengan fatwa MUI, ya jangan diikuti. Atau kalau mau lebih cerdas, mintalah ulama lain berijtihad membuat fatwa lain. Tentu umat Islam akan senang, selain menjadi opsional, sebab salah atau benar sebuah ijtihad akan mendapat pahala. Iya miriplah dalam penetapan 1 Ramadan atau 1 Syawal. Ulama kita lebih demokratis dari pada semua pemuja demokrasi. Tiap tahun setidaknya rutin 3 kali kalangan ulama berbeda pendapat dalam hal menetapkan 1 Ramadan (awal Puasa), awal 1 Syawal (Idul Fithri) dan awal 10 Dzulhijjah (Idul Adha). Tapi mereka tetap saling menghormati. Karena mereka berilmu dan berakhlak.

Maka sebaiknya bagi yang berbeda dengan fatwa MUI, tidak perlu sampai membunuh karakter para ulama dengan berbagai stigma negatif. Bagi yang belajar Islam dengan baik pasti paham, bahwa Ulama adalah pewaris para Nabi…

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement