Ahad 18 Dec 2016 23:30 WIB

Risalah Menuju Kebahagian Hakiki

Rep: Nashih Nasrullah/ Red: Agung Sasongko
Kebahagiaan yang menular/ilustrasi
Foto: salon.com
Kebahagiaan yang menular/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setiap umat Islam pasti mendambakan hidup yang bahagia, baik di dunia maupun di akhirat. Ketika amal hidupnya dihitung, harapannya adalah mendapatkan surga dari Allah SWT. Namun, untuk memasuki dan mendapatkan balasan surga, tidaklah mudah. Banyak halangan dan rintangan yang selalu mengadang. Setan akan senantiasa menggoda umat manusia agar tidak memasuki surga dan sebaliknya menjadi penghuni neraka.

Karena itu, banyak anjuran, perintah, dan larangan Allah SWT yang harus dipatuhi. Beberapa di antaranya adalah mendirikan shalat lima waktu, membayar zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan, melaksanakan ibadah haji (bagi yang mampu), serta mengamalkan sunah Rasulullah SAW.

Ayat-ayat Alquran ataupun hadis Nabi SAW sudah cukup banyak memberikan imbauan dan anjuran untuk memperoleh surga. Bahkan, sudah tak terhitung para ulama yang memberikan nasihat. Termasuk, melalui karya-karya mereka yang berisi tentang nasihat-nasihat, kebajikan, dan olah spiritual. Karya-karya itu ada yang telah ditulis ulama zaman dahulu ataupun masa kini.

Salah satu fakta yang menarik, beberapa kitab yang dikarang dalam beberapa hal saling memberikan sumbangsih satu sama lainnya. Hampir bisa dipastikan, penulisan karya tertentu sering berpijak kepada referensi yang telah ditulis sebelumnya. Taruhlah, al-Ghazali tatkala menulis mahakarya Ihya Ulumiddin. Ia menempatkan kitab sang guru, Abu Thalib al-Makky, yang bertajuk Qut al-Qulub, sebagai rujukan dan pijakan utama.

Meskipun sudah terdapat deretan kitab, tak serta-merta menyebabkan kreativitas menulis para ulama terhenti. Bahkan, ide kreatif mereka silih berganti bermunculan. Fakta ini lantas disambut baik dengan animo para pembaca yang notabene suka dan menantikan sesuatu yang baru, walaupun hanya mengulang pembahasan yang pernah ada.

Hal inilah yang membuat Habib Abdullah bin Alawi bin Muhammad al-Haddad terdorong mengarang sebuah kitab yang diberi judul Risalah al-Mu'awanah wa al-Muzhaharah wa al-Muwazarah li ar-Raghibin min al-Mu'minin fi Suluk Thariq al-Akhirah.

Kitab yang dirampungkan pada Kamis, 23 Sya'ban 1068 H (sekitar tahun 1340 M), sebenarnya merupakan kumpulan nasihat kebajikan yang secara khusus ditujukan untuk saudara dan anggota keluarganya. Namun, Habib Abdullah bin Alawi juga memberikan nasihat kepada seluruh umat Muslim.

Mencermati gaya bahasa yang digunakan, tampaknya pengarang memilih pemakaian bahasa yang ditujukan untuk orang kedua, yakni seluruh kaum Muslim. Kelebihan inilah yang menempatkan Risalah al-Mu'awwanah menjadi lebih istimewa dibandingkan kitab lainnya, karena dikemas dalam bahasa yang sederhana dan mudah dicerna.

Selain itu, ulasan yang dipaparkan Habib Abdullah bin Alawi dalam Risalah al-Mu'awwanah  memiliki ketajaman dan tingkat kedalaman yang luar biasa, sehingga mampu menyentuh dan mengetuk kalbu para pembacanya. Tak terkecuali para penyelam hikmah. Penilaian di atas tentunya sangat beralasan. Mengingat, kitab Risalah al-Mu'awwanah ini ditulis oleh seorang yang alim. Kendati saat itu baru berusia 25 tahun.

Dan, yang tak kalah menakjubkan, kitab Risalah al-Mu'awwanah disusun oleh sosok yang kehilangan pancainderanya sejak ia berumur empat tahun.

Tak heran jika kemudian kitab Risalah al-Mu'awwanah memikat hati ulama secara luas sampai mendorong sebagian kalangan untuk menerjemahkannya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement