Kamis 10 Nov 2016 17:30 WIB

Masjid Jami Al-Anwar Tempat Berkumpul Pejuang Kemerdekaan

Rep: Mursalin Yasland/ Red: Agung Sasongko
Masjid Jami Al Anwar
Foto: http://duniamasjid.islamic-center.or.id
Masjid Jami Al Anwar

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA --  Keberadaan Masjid Jami Al Anwar yang berdiri sekarang merupakan hasil pemugaran atau renovasi tahun 1962. Panitia pembangunan masjid tetap mempertahankan bangunan asli masjid, seperti tiang dan dinding pintu masuk masjid. Tiang dan dinding masjid lama saat ini sudah berada di dalam masjid hasil renovasi.

Menurut data, setelah renovasi pertama tahun 1962, masjid ini sudah beberapa kali mengalami renovasi, yakni tahun 1994 dan 1997.

Masjid yang berukuran sekitar 30 x 35 meter ini berdiri di atas tanah wakaf seluas 6.500 meter persegi dan mampu menampung lebih dari 2.000 jamaah. Pada masa renovasi pertama, telah dibangun menara. Pada tahun 1994, menara masjid ini mengalami perubahan menjadi 26 meter. Di pintu masuk masjid, dibangun teras sederhana, namun bergaya arsitektur lama masa penjajahan Belanda.

Ia mengatakan, pada renovasi tahun 1962, konstruksi bangunan ini masih bercirikan konstruksi bangunan pada 1888. Hal ini bisa dilihat dari dinding masjid, pintu masuk masjid, dan menara masjid, termasuk pagar yang mengelilingi masjid. Semua dibuat dengan batu bersusun berlapis, seperti bangunan masa penjajahan dulu.

Dalam catatan sejarah, masjid bersejarah ini pada masa perjuangan kemerdekaan melawan penjajah Belanda menjadi basis tempat berkumpulnya para tokoh pejuang untuk mengatur strategi perlawanan penjajah. Pejuang tersebut di antaranya adalah Alamsjah Ratuperwiranegara, Kapten Subroto, KH Nawawi, dan KH Toha.

Sebagai masjid yang tertua di Lampung, Masjid Al-Anwar juga memiliki banyak peninggalan kuno, di antaranya dua buah meriam peninggalan Portugis, kitab tafsir Alquran yang sudah berumur lebih dari satu setengah abad, ratusan buku agama Islam berusia 150 tahun, naskah kuno letusan Krakatau 1883, dan gentong air untuk tempat berbuka puasa. Juga, terdapat sumur tua yang tidak pernah kering saat musim kemarau untuk mengambil air wudhu.

Beduk

Masjid tersebut masih menggunakan beduk untuk memanggil orang shalat. Hal ini dilakukan untuk mempertahankan ciri. Di dalam masjid tersebut, ada dua beduk dengan ukuran berbeda. Beduk pertama lebih besar dengan kondisi bentangan kulitnya sudah robek dan tidak digunakan lagi, kecuali pada malam takbiran karena untuk meramaikan suasana.

Sedangkan, beduk yang kini masih bagus berdiameter sekitar satu meter dan siapa pun boleh memukulnya jika waktu shalat telah tiba. Syiar tersebut dilakukan ketika hendak masuk waktu shalat serta malam takbiran, baik Idul Fitri maupun Idul Adha.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement