REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail (LBM) Nahdlatul Ulama, KH Cholil Nafis, mengatakan KH As'ad Syamsul Arifin pantas mendapatkan gelar pahlawan nasional. Ini karena Kyai As'ad tidak hanya dikenal peran pentingnya dalam mendirikan Nahdatul Ulama, tetapi juga dalam memperjuangkan kemerdekaan dan pendidikan di Indonesia.
"Berdirinya NU tidak terlepas dari peran penting Kyai As'ad, saat itu Kyai Hasyim Asy'ari meminta pertimbangan dan nasihat kepada Kyai Kholil Bangkalan, saat masih menjadi santri, Kyai As'ad yang menjadi pembawa jawaban dari Kyai Kholil di Madura kepada Kyai Hasyim di Jombang," kata Kiai Cholil kepada Republika.co.id, Rabu (9/11). Tasbih yang dibawa Kyai As'ad pun menjadi simbol restu Kiai Kholil.
Banyak pelajaran yang dapat diambil dari pemikiran Kyai As'ad Syamsul Arifin, terutama sikap kebangsaannya. Terlepas dari konteks keagamaan, dia telah memperjuangkan kemerdekaan dengan memberikan nasihat dan wejangan kepada santri yang terjun langsung untuk berjuang.
"Berjuang bukan karena semata-mata membela Tanah Air, tetapi kita sedang memperjuangkan tanah tempat sujud kita, setiap tanah adalah tempat sujud untuk meletakkan dahi bersujud kepada Allah SWT," jelas dia. Setiap dataran bumi merupakan masjid untuk bersujud kepada Allah SWT.
Memperjuangkan kemerdekaan, menurut Kiai As'ad, bukan semata-mata masalah duniawi, tetapi juga dorongan ukhrowi. Kiai Cholil mengatakan, tak hanya keagamaan dan kebangsaan, Kiai As'ad Syamsul Arifin juga berperan penting dalam mengentaskan kemiskinan dan kebodohan.
Kiai Cholil yang satu kampung dengan istri Kiai As'ad menceritakan, di masa mudanya hingga wafat bersama ayahnya Kiai Syamsul Arifin mengembangkan sebuah pondok pesantren Salafiyah Syafiiyah. Tak hanya pondok pesantren, Kiai As'ad juga mendirikan sekolah untuk masyarakat belajar dan mengurangi kebodohan. Dia pun berperan dalam mengentaskan kebodohan dan kemiskinan yang jauh dari perkotaan. Sehingga membantu masyarakat untuk sejahtera.
Di bidang politik, saat NU terjun langsung dalam politik praktis dan gonjang-ganjingnya di tahun 1984 dan menjadi partai politik, Kiai As'ad berperan agar NU kembali menjadi ormas Islam yang berpolitik keadaban dan bermoral, sehingga NU kembali kepada khittah-nya untuk mengawal politik bangsa tanpa harus menjadi partai politik.