Senin 17 Oct 2016 15:32 WIB

Plagiat, Apa Pandangan Ulama?

Rep: Hafidz Muftisany/ Red: Agung Sasongko
Plagiatisme
Plagiatisme

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengambilan hasil karya orang lain sebagai karya sendiri atau plagiat berimplikasi besar. Dalam kasus karya tulis, plagiat adalah mengambil karangan orang lain dan menjadikannya seolah-olah karangan sendiri.

Seseorang pada level akademik tertentu dituntut untuk menerbitkan karya ilmiah secara rutin. Begitu pun pejabat negara atau politik. Memberikan pandangan lewat tulisan di media massa atau dalam bentuk buku menjadi pilihan.

Namun, entah karena kesibukan, kelalaian, atau atas nama praktis, pilihan mengambil karya orang lain terjadi. Jika dalam hukum positif, hak paten, dagang, dan kekayaan intelektual lainnya sudah diatur dalam berbagai undang-undang, bagaimana dengan Islam?

Majelis Ulama Indonesia (MUI) pernah dimintakan fatwa terkait perlindungan hak kekayaan intelektual pada Munas VII MUI 2005.

Dalam ketentuan umum fatwanya, MUI menerangkan yang dimaksud hak kekayaan intelektual yang diberikan fatwa mencakup hasil olah pikir otak yang menghasilkan sebuah produk yang berguna untuk manusia dan diakui oleh negara. Hak ini berkaitan erat dengan aktivitas ekonomi hasil dari kreativitas seseorang.

Hak ini secara umum meliputi hak perlindungan varietas tanaman, rahasia dagang, desain industri, desain tata letak terpadu, paten, hak atas merek, dan hak cipta yang di dalamnya termasuk hasil karya tulisan.

Dengan ketentuan tersebut, MUI memasukkan hak kekayaan intelektual masuk sebagai huquq maliyyah (hak kekayaan) yang mendapat perlindungan hukum (mashun) sebagaimana mal atau kekayaan dan memiliki nilai ekonomi.

MUI menegaskan segala bentuk pelanggaran atas hak kekayaan intelektual merupakan kezaliman dan haram hukumnya. Larangan ini mencakup menggunakan, membuat, memakai, menjual, mengimpor, mengekspor, dan menjiplak tanpa izin. Namun, dengan ketentuan hak kekayaan intelektual yang diatur tidak bertentangan dengan hukum Islam. Selain itu, hak kekayaan intelektual ini bisa dijadikan objek akad (al-ma'qud 'alaih), baik akad komersial maupun nonkomersial. Hak ini juga dapat diwakafkan dan diwariskan.

Beberapa kaidah yang menjadi dasar fatwa MUI tersebut adalah firman Allah SWT dalam Alquran surah an-Nisa ayat 29. "Hai orang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jangan batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu ...."

Juga dalam Alquran surah as-Syuara ayat 183, "Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan."

Karena hak kekayaan intelektual termasuk harta kekayaan maka keberadaannya sangat dilindungi. Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya darah (jiwa) dan hartamu adalah haram (dilindungi, mulia) ....” (HR Tirmidzi).

Komisi Fatwa yang saat itu diketuai KH Maruf Amin juga mengambil kaidah fikih, "Tidak boleh melakukan perbuatan hukum atas hak milik orang lain tanpa seizinnya."

Kemudian, mayoritas ulama dari kalangan madzhab Maliki, Syafi'i, dan Hambali mengatakan, hak cipta atas ciptaan yang asli tergolong harta berharga sebagaimana harta tersebut boleh dimanfaatkan secara syara.

Wahbah al-Zuhaili dalam Fiqh al-Islami wa Adillatuhu mengatakan, mencetak ulang atau mengopi buku tanpa izin dipandang sebagai kejahatan terhadap hak pengarang. Hal tersebut dikategorikan pencurian dan mengharuskan ganti rugi.

Forum Bahstul Masail Nahdlatul Ulama mengatakan, hak cipta dilindungi hukum Islam dan sebagai hak milik dan dapat diwariskan sebagaimana keputusan Muktamar NU ke-28 di Yogyakarta pada 1989. Ulama NU juga menegaskan, mencetak dan menerbitkan karya tulis pihak lain hukumnya haram, kecuali ada izin.

Kaidah yang diambil, di antaranya, pendapat Imam Ibnu Hajar al-Haitamy dalam Al-Fatawi al-Haditsiyah halaman 163 menyebutkan, "Sedapat mungkin menghasilkan kitab-kitab dengan membeli jika tidak mungkin dengan menyewa atau meminjam. Dan, hendaknya tidak melakukan penyalinan kecuali dengan izin pemiliknya atau tidak mungkin dihasilkan tanpa penyalinan kembali."

Juga dalam kitab I'anatuth thalibin Juz III disebutkan yang menjadi hak waris adalah apa saja yang ditinggalkan mayat, baik dalam bentuk harta maupun hak.

Jika pemilik hak sudah tidak ada, hak cipta karya tulis tersebut menjadi hak Muslimin untuk kemaslahatan. Kaidah yang dipakai dalam Bughyatul Mustarsyidin yang menyebut jika seseorang ingin mengembalikan harta dari seseorang yang meminjam tanpa izin, sementara ia tidak mengetahui pemiliknya, harta tersebut dikembalikan ke kas negara atau dimanfaatkan bagi kepentingan umat Islam. n

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement