Oleh: Nasarudin Umar, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di antara tanda-tanda akhir zaman yang lazim disebut dengan tanda-tanda kecil ('alamat al-shugra) hari kiamat ialah munculnya banyak fenomena gaib di dalam masyarakat. Merebaknya pemberitaan tentang fenomena gaib, seperti kasus Kanjeng Dimas Taat Pribadi dan sebelumnya ada fenomena Lia Aminuddin, dan Musaddeq yang mengklaim dirinya sebagai Nabi, akan semakin banyak ditemukan.
Sebetulnya, fenomena seperti ini juga terjadi di negara-negara lain, seperti di Maroko, Aljazair, Mesir, dan Amerika Latin, sebagaimana dapat dilihat di media-media sosial. Fenomena ajaib yang dianggap sebagai perbuatan luar bisa (khariqul 'adah) sudah diperkenalkan di dalam tradisi Islam.
Alquran memperkenalkan tiga bentuk perbuatan luar biasa, yaitu mukjizat, karamah, waqi'iyyah dan sihir. Mukjizat secara sederhana biasa diartikan sebagai perbuatan luar biasa yang muncul dari diri seorang Nabi atau Rasul. Selain Nabi dan Rasul tidak ada orang yang mampu mengakses keajaiban ini.
Karamah biasa diartikan perbuatan luar biasa muncul dari diri seorang wali atau kekasih Tuhan. Waqi'iyyah hampir sama dengan karamah, hanya lebih banyak tampil dalam bentuk pengetahuan kejadian masa akan datang yang belum terjadi. Sedangkan sihir adalah juga perbuatan luar biasa yang muncul dari diri seorang yang belajar dan terus berusaha memahirkan diri di dalam mengamalkan keterampilan supernatural itu.
Mukjizat, karamah, dan waqi'iyyah hanya bisa diakses oleh orang-orang yang secara konsisten membersihkan diri lahir dan batin, melakukan pengabdian tulus di dalam pembinaan masyarakat. Ciri-ciri orang yang mendapatkan mukjizat dan karamah tidak pernah memperkenalkan diri dengan mendemonstrasikan kelebihan yang dianugrahkan Tuhan kepadanya.
Apalagi, mereka tidak pernah terlintas dalam pikirannya untuk mengomersialkan kelebihan yang Tuhan berikan kepadanya. Bahkan, banyak orang yang sesungguhnya mendapatkan karunia berupa karamah tetapi tidak pernah mau memperkenalkan diri ke dalam masyarakat.
Mereka khawatir jangan sampai karunia itu menjadi hijab baru baginya. Jika keajaiban itu membuat dirinya tenar dan populer lalu ia merasakan pujian dari orang lain, maka pada saat itu karunia berubah menjadi hijab nurani, dan tidak tertutup kemungkinan menjadi hijab dhulmani jika digunakan untuk menipu dan memperdaya orang lain.
Berbeda dengan sihir, yang umumnya memang sengaja dpelajari dengan penuh kesungguhan dan kalau perlu dengan pengorbanan-pengorbanan tertentu, seperti puasa 40 hari, menebus sejumlah tantangan yang ditetapkan oleh sang guru.
Kursus ilmu sihir dapat ditemukan di mana-mana di seluruh belahan dunia. Ilmu sihir ini dianggap oleh sebagian negara atau pakar sebagai kearifan lokal (local intelligent), yang dapat diakses oleh siapa pun, tanpa dibedakan jenis kelamin, etnik, agama, dan atribut sosial budaya lainnya. Siapa pun yang mampu menjalani latihan (tirakat) dan memenuhi berbagai persyaratannya dapat memperoleh ilmu sihir ini.
Boleh jadi mulanya seseorang memang mendapatkan karamah atau waqi'iyyah, tetapi orangnya tidak sabaran dan tergoda untuk mendemonstrasikan kelebihannya kepada masyarakat. Fenomena yang terjadi dengan Kanjeng Dimas Taat Pribadi boleh jadi mulanya ia mendapatkan alamat karamah atau waqi'iyyah, tetapi tidak sabar menikmati keutamaannya, maka meledaklah kasusnya di dalam media-media sosial dan media publik lainnya.
Tidak jarang, terjadi sebuah keajaiban dalam bentuk white magic bisa berubah menjadi black magic. Jika sebuah white magic berubah menjadi black magic, bisa ditebak pasti akan menelan banyak korban jika tidak segera dilakukan sistem proteksi dan perlindungan.
Fenomena Kanjeng Dimas Taat Pribadi ini bukan contoh baru. Pada zaman keemasan Islam abad pertengahan, banyak sekali person tiba-tiba melejit karena mempu memberikan isyarat gaib kepada para raja. Sekadar catatan renungan, pada zaman keemasan Islam, khususnya ketika Umar ibn Abdul Azis berkuasa, marak sekali praktik astrologi dalam masyarakat.