REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anak adalah dambaan setiap pasangan suami istri. Adakalanya, tak sedikit dari mereka ingin mendapatkan keturunan dengan jenis kelamin yang diharapkan. Baik laki-laki maupun perempuan. Kemajuan ilmu kedokteran, membantu para orang tua untuk mewujudkan keinginan tersebut. Ada beberapa alternatif metode yang bisa ditempuh. Ada yang bersifat alami dan terdapat pula yang menggunakan bantuan teknologi.
Sebuah temuan dari ahli biologi Perancis, misalnya, menyimpulkan bahwa Ovum Membrane mengandung daya energi. Daya tersebut tidak konstan, alias berubah-ubah. Di dalam siklus, daya itu bisa beralih dari positif ke netral lalu ke negatif. Ini disebut sebagai Polarity Cycle of the Ovum Membrane. Dr Niels Lauersen lewat karyanya berjudul Getting Pregnant, mengevaluasi Metode Anak Pilihan lebih dari 15 tahun penelitian.
Temuan ini mendapat respons beragam dari berbagai kalangan. Di dunia Islam, fenomena ini menimbulkan kebingungan dan mengundang pertanyaan, bolehkah pasangan suami-istri berikhtiar mendapatkan bayi dengan jenis kelamin yang mereka harapkan? Apakah ini bentuk pengingkaran takdir?
Syekh Khalid bin Abdullah al-Mushlih mengupas persoalan ini dalam makalahnya yang berjudul Ru'yat Syar'iyyat fi Tahdid Jins al-Janin. Pembahasannya tersebut meliputi bahasan-bahasan perinci, antara lain, persoalan hukum secara umum dan detail hukum tiap-tiap metode.
Secara umum, Syekh Khalid menjelaskan hukum penentuan jenis kelamin janin. Menurut dia, terjadi silang pendapat di kalangan ulama. Kelompok yang pertama menganggap upaya semacam ini diperbolehkan dalam Islam. Ada deretan nama tokoh yang setuju dengan opsi ini, antara lain, Syekh Abdullah al-Bassam, Musthafa az-Zurqa, Yusuf al-Qaradhawi, Abdullah bin Bayyih, Nashr Farid, dan Ali Jumah. Pandangan ini kemudian diadopsi oleh Dewan Fatwa Yordania dan Komisi Fatwa Kementerian Wakaf Kuwait.
Mereka berargumentasi, tak ada dalil kuat terkait pelarangan metode penentuan jenis kelamin janin. Kelompok ini juga beralasan, meminta jenis kelamin tertentu juga bukan sebuah larangan. Hal ini pernah dilakukan oleh para nabi. Mereka meminta agar dikaruniai anak lelaki.
Ini seperti ikhtiar Nabi Ibrahim yang tertuang di surah ash-Shaffat 100-101, ”Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh. Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar.”
Dalil lain yang dikutip kubu ini, yakni hadis riwayat Muslim dari Tsauban. Rasulullah pernah menjelaskan kepada seorang Yahudi tentang proses dan sebab natural munculnya kelamin laki-laki dan perempuan berkat kuasa Allah SWT.
Sedangkan pihak yang kedua menyatakan, pemilihan jenis kelamin janin oleh kedua orang tua dengan bantuan media dan metode apa pun, hukumnya tidak boleh. Pandangan ini disuarakan oleh Syekh Muhammad an-Natasyah, Abd an-Nashir Abu al-Bashal, dan Syekh Faishal Maulawy. Pendapat ini lantas disadur oleh Komite Fatwa Resmi Kerajaan Arab Saudi.
Secara garis besar, argumentasi kubu ini berputar pada satu fakta bahwa penetapan jenis kelamin, bentuk fisik, dan segala yang berkenaan dengan anak Adam, merupakan takdir Allah yang tak bisa diganggu gugat.
Berbagai usaha penentuan jenis kelamin dengan beragam media dan metode tak sesuai dengan prinsip tersebut. “Dialah yang membentuk kamu dalam rahim sebagaimana dikehendaki-Nya. Tak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (QS Ali Imran [3] : 6).
Mereka juga berdalih, tindakan tersebut termasuk kategori usaha untuk mengubah ciptaan Allah. Perbuatan tersebut sangat dicela dan dilarang. Larangan ini seperti termaktub pada surah an-Nisaa ayat 119.