REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keindahan dan kemegahan Masjid Agung Lhasa tak bisa luput dari daya tarik Kota Lasha, Tibet. Berdirinya masjid di pusat tradisi dan kebudayaan Buddha ini menunjukkan bahwa tingkat toleransi di Tibet menjadi bagian tak terlepaskan dari tatanan sosial masyarakat.
Faktor itulah barangkali membuat mengapa masjid yang juga dikenal dengan sebutan Masjid Hebalin itu tetap bertahan, bahkan dilestarikan pascainsiden kebakaran pada 1959.
Meski dibangun sebagai tempat sakral ibadah umat Islam, desain Masjid Agung Lasha dibuat tidak kontras dengan budaya setempat.
Masjid yang pertama kali dibangun pada 1716 M saat Kaisar Kangxi dari Dinasti Qing berkuasa itu memadukan dua kebudayaan secara bersamaan, yaitu paduan desain tradisional Tibet dengan arsitektur Islam tradisional.
Masjid yang semula berdiri dengan luas hanya 200 meter persegi ini, mengalami beberapa kali fase renovasi. Pada 1793, misalnya, komunitas Muslim Hui sebagai etnis terbanyak di wilayah itu menambah luas masjid.
Pada abad modern, masjid dengan bentuk vertikal ini direnovasi pada maret 2008. Ketika itu, kawasan Muslim di Hebalin termasuk Masjid Agung Lhasa ini sempat dirusak massa pendemo anti-Cina di Tibet.
Kawasan Hebalin dan Masjid Agung mengalami kerusakan di sana-sini akibat rusuh massa. Beruntung, polisi sempat menutup kawasan tersebut dan melarang siapa pun masuk ke sana kecuali warga asli Hebalin dan Muslim dari area lain yang akan menunaikan shalat di Masjid Agung. Langkah tersebut ditempuh untuk meminimalkan kerusakan lebih parah lagi.