Rabu 14 Mar 2018 12:15 WIB

Hak-Hak Istimewa Muslim Tibet

Hak istimewa tersebut dicabut semenjak Tibet diduduki RRC.

Masjid Lhasa di Tibet.
Foto: http://eng.tibet.cn
Masjid Lhasa di Tibet.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Imigran Muslim dari Kashmir dan Ladakh pertama kali memasuki wilayah Tibet sekitar abad ke-12. “Meskipun tidak banyak penduduk Buddha yang beralih ke Islam pada masa itu, secara bertahap pernikahan dan interaksi sosial menyebabkan meningkatnya populasi Muslim hingga jumlah yang cukup signfikan di sekitar ibu kota Tibet, Lhasa,” tulis Masood Butt dalam artikel "The Tragedy of Tibetan Muslims" yang dipublikasikan oleh Tibetan Bulletin.

Selain Kache, beberapa kelompok etnis Muslim yang juga menghuni tanah Tibet sejak lama, di antaranya, suku Hui, Salar, Dongxiang, dan Bonan. Di samping itu, ada lagi komunitas Tionghoa Muslim Gya Kache yang jejak keturunannya masih terhubung dengan kelompok etnis Hui.

Kedatangan Muslim di Tibet juga diikuti oleh pembangunan masjid di berbagai kawasan di negeri itu. Ada empat masjid di Lhasa, dua di Shigatse, dan satu di Tsethang. “Permukiman Muslim Tibet umumnya terkonsentrasi di sekitar masjid yang mereka bangun tersebut,” tutur Butt.

Meski hanya minoritas, Muslim Tibet menjalani kehidupan yang cukup bebas di lingkungan Buddha. Bahkan, ketika negeri itu berada di bawah kepemimpinan Dalai Lama V (yang hidup antara 1617-1682), umat Islam juga menerima sejumlah hak istimewa.

Di antaranya, kaum Muslim Tibet diizinkan untuk menyelesaikan berbagai urusan mereka secara independen dan sesuai dengan syariat Islam. Selain itu, kaum Muslim Tibet juga bebas mendirikan perusahaan dan menjalankan bisnis yang mereka geluti. Tak hanya itu, mereka juga dibebaskan dari pungutan pajak.

Hak-hak istimewa di atas termaktub dalam dokumen yang diberikan Pemerintah Tibet kepada masyarakat Muslim. “Sayangnya, setelah rezim komunis Cina menduduki Tibet pada 1959, umat Muslim di negeri itu tak lagi menikmati hak-hak tersebut,” ungkap Butt.

Menderita

Masyarakat Tibet pada umumnya sangat menderita berada di bawah pendudukan Cina. Begitu pula halnya dengan kaum Muslimin di negeri itu. Mereka mengalami tekanan mental dan fisik lantaran rezim komunis membatasi kebebasan mereka begitu ketatnya. Tak hanya itu, para penguasa Cina juga memaksa penduduk di daerah itu untuk menjual tanah dan bangunan yang mereka miliki.

Situasi politik semacam itu semakin menjepit keberadaan komunitas Muslim Tibet. Namun, hal itu tidak tak lantas melunturkan identitas mereka sebagai orang Tibet. Dalai Lama ke-14 bahkan memuji kaum Muslimin Tibet di Kashmir yang tetap mempertahankan bahasa Tibet dalam keseharian mereka meskipun hidup hampir enam dekade berada di dalam pengasingan.

“Mereka adalah Muslim yang taat, namun sangat dipengaruhi oleh budaya belas kasih Tibet,” kata Dalai Lama pada 12 Januari seperti dikutip The Tibet Post International.

sumber : Islam Digest Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement