REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebelum Cina datang, Tibet adalah sebuah kerajaan merdeka. Raja Tibet diberi gelar Dalai Lama. Dalai Lama yang sekarang, yakni Tenzin Gyatso, adalah Dalai Lama ke-14. Selain pemimpin negara, Dalai Lama adalah juga pemimpin keagamaan.
Kedamaian dan keharmonisan Tibet runtuh setelah Cina datang. Tibet menjadi salah satu provinsi di Cina setelah tentara merah Cina menyerbu wilayah ini pada 1950. Pada musim gugur 1951, pasukan Cina berhasil menguasai ibu kota Lhasa dan menggulingkan Dalai Lama dari kekuasaannya.
Cina berdalih, Dalai Lama digulingkan karena menolak kesepakatan kerja sama yang disebut "Rencana Pembebasan Damai Tibet". Di atas kertas, kesepakatan seperti menguntungkan Tibet. Namun, pada praktiknya, Cina justru menindas dan membantai sejumlah kepala suku dan pendeta (Lama) karena dianggap membangkang. Cina juga berdalih, penyerbuan dilakukan untuk menghilangkan praktik penindasan bergaya feodalisme.
Namun, sejumlah analis internasional berpendapat lain. Mereka menilai, Cina hanya mengincar kandungan mineral di dalam perut bumi Tibet. Pada 17 Maret 1959, Dalai Lama berhasil meloloskan diri dari penangkapan tentara Cina. Ia lalu mendirikan semacam pemerintahan di pengasingan, yakni di Dharamsala, India Utara.
Masalah Tibet menjadi ganjalan dalam hubungan internasional Cina dengan dunia internasional, khususnya dengan AS, pada dekade 1960-1970-an. Situasi berubah setelah Presiden AS Richard Nixon berkunjung ke Cina untuk memulihkan kontak diplomatik AS-Cina. Perbaikan hubungan itu membuat masalah Tibet seakan terlupakan dan dianggap selesai sampai sekarang. Kondisi itu diperkuat setelah pemimpin Tibet, Panchen Lama, menyatakan bergabung dengan Cina.
Di bawah penguasaan pemerintah komunis Cina, posisi umat Islam yang minoritas kian terjepit. Penguasa Cina mendesak Muslim Tibet menjual tanah dan bangunan mereka. Dengan cara itu, mereka akan diizinkan berimigrasi ke luar negeri. Muslim Tibet tentu saja tak mau menyerahkan begitu saja harta dan kekayaan yang mereka peroleh dari hasil kerjanya. Akibatnya, mereka terus ditekan dan diboikot dari kehidupan sosial.
Penguasa Cina juga melarang setiap orang untuk menjual makanan kepada Muslim Tibet yang tak mau menjual hartanya kepada penguasa. Akibat sanksi boikot itu, tak sedikit orang tua dan anak-anak Muslim Tibet yang kelaparan.
Beruntung, pada 1959, Pemerintah India mengeluarkan pengumuman bahwa seluruh Muslim Tibet adalah warga negara India. Maka, sejak saat itu, Muslim Tibet berbondong-bondong hijrah ke India, utamanya ke kota perbatasan, seperti Kalimpong, Darjeeling, dan Gantok. Ada pula yang pindah ke Kashmir.
Namun, hal itu tidak tak lantas melunturkan identitas mereka sebagai orang Tibet. Dalai Lama ke-14 bahkan memuji kaum Muslimin Tibet di Kashmir yang tetap mempertahankan bahasa Tibet dalam keseharian mereka meskipun hidup hampir enam dekade di pengasingan.
"Mereka adalah Muslim yang taat, namun sangat dipengaruhi oleh budaya belas kasih Tibet," kata Dalai Lama, seperti dikutip The Tibet Post International.
Dalam sejumlah kesempatan, Dalai Lama juga menyatakan dukungannya kepada umat Islam. Pada pertemuan puncak antiteror di San Fransisco, April 2006, misalnya, Dalai Lama secara tegas menyatakan Islam telah diperlakukan secara tidak adil.
"Bagi sejumlah orang, tradisi Islam mungkin tampak sebagai tradisi yang militan. Saya rasa, itu jelas-jelas salah. Islam, sebagaimana keyakinan yang lain, mempunyai pesan dan ajaran yang sama, yakni mengajarkan kasih sayang," kata peraih Noble Perdamaian pada 1989 ini. Bahkan, ia pun tak ragu-ragu untuk mengakui, "Dalam beberapa hal, saya adalah salah satu pembela tradisi Muslim."