Senin 19 Sep 2016 13:56 WIB

Cegah Menstruasi karena Ingin Umrah, Bolehkah?

Rep: Nashih Nasrullah/ Red: Agung Sasongko
Menghitung tanggal menstruasi. Ilustrasi
Foto: .
Menghitung tanggal menstruasi. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seiring perkembangan dunia kedokteran dan farmasi, para ahli medis menemukan obat yang bisa digunakan untuk mencegah haid. Penggunaannya oleh Muslimah dengan tujuan optimalisasi ibadah pun mengundang pertanyaan.

Cegah Menstruasi karena Ingin Umrah, Bolehkah? misalnya, mengonsumsi obat tersebut agar bisa berumrah?

Permasalahan ini pernah mengemuka di Dar al-Ifta. Lembaga fatwa otoritatif Mesir tersebut berpendapat, konsumsi obat penunda haid agar bisa maksimal melaksanakan ibadah umrah diperbolehkan. Namun, ini boleh dengan syarat harus atas dasar rekomendasi dokter. Pemakaiannya pun harus dinyatakan tidak berdampak buruk bagi pengguna, baik efek yang bersifat langsung maupun tak langsung.  Jika berhahaya, pemakaiannya dilarang. 

Komite Fatwa Arab Saudi menegaskan, Muslimah boleh menggunakan obat penunda haid untuk tujuan pemaksimalan haji, umrah, dan puasa Ramadhan. Lembaga ini memberi catatan, penggunaannya tak boleh menyebabkan bahaya bagi konsumen. Ia dinyatakan tidak perlu mengqadha atau mengganti ibadah selama masa siklus haid itu tertunda. Misalnya, puasa Ramadhan.

Pendapat Syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin agak berbeda. Ia berpandangan, perempuan jangan sampai mengonsumsi obat penunda haid. Pendapat ini setelah ia memperoleh laporan hasil temuan para dokter perihal bahaya di balik konsumsi obat tersebut.

Obat ini mengancam kesehatan janin, saraf, dan sirkulasi darah. Namun, sebagian kalangan membaca pendapat tokoh ini bukan sebagai bentuk larangan, melainkan sekadar catatan. Artinya, konsumsi obat itu tetap boleh dengan catatan tidak menimbulkan efek samping yang justru membahayakan.

Dalam kajian fikih klasik, mayoritas ulama mazhab menyatakan pandangan yang sama, yaitu Muslimah boleh mengonsumsi obat pencegah haid selama tindakan itu tidak membahayakan kesehatan dirinya. Menurut Mazhab Hanafi, jika ia meminum obat lalu darah haid tidak keluar, siklus bulanan tersebut dinyatakan bukan lagi siklus menstruasi.

Misalnya, si A jadwal menstruasinya jatuh pada pekan ketiga tiap bulannya. Bila haid tak kunjung datang, siklus bulanan itu gugur. Jika ternyata pada tempo itu keluar darah, itu dianggap menstruasi, meski sudah meminum pencegah haid. 

Mazhab Maliki menambahkan, tidak keluarnya darah pada siklus sebagai dampak obat berarti tidak menggugurkan kewajiban tawaf, shalat lima waktu, atau puasa Ramadhan.

Sebaliknya, jika digunakan untuk mempercepat haid, darah itu dikategorikan menstruasi. Ini berlaku dalam bidang ibadah, sementara berkenaan dengan idah darah menstruasi yang keluar akibat obat, tidak dijadikan sebagai dasar ketidakhamilan dan habisnya masa idah itu.

Mazhab Syafii mengatakan, penggunaan obat untuk mempercepat haid bagi perempuan yang belum baligh, lantas darah itu keluar, maka ia telah dianggap baligh dan telah wajib melaksanakan perintah syariat. Sedangkan, konsumsi obat pencegah haid tidak berdampak pada kewajiban qadha atau mengganti ibadah yang ditinggalkan, misalnya puasa Ramadhan. Ini berarti, bila obat tersebut efektif menghalangi haid, ia tetap wajib shalat fardhu dan berpuasa Ramadhan.

Mazhab Hambali menyatakan, menunda keluarnya menstruasi lewat konsumsi obat diperbolehkan. Ini dengan dua catatan, yaitu penggunaannya tidak berefek negatif pada kesehatan pemakainya, dan bagi yang telah bersuami, tindakan tersebut harus mendapat persetujuan suami. Hal ini karena suami berhak untuk mendapatkan keturunan. Dan, ini hanya bisa tercapai bila siklus menstruasi berjalan normal.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement