REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) tak akan lepas dari dunia menulis. Namun, tulisan yang sarat kecerdasan intelektual dan spiritual, akan jadi warna baru iptek Indonesia.
Staf Ahli Menteri Bidang Relevansi dan Produktivitas Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) Agus Puji Prasetyono mengatakan, tingkat menulis Indonesia masih rendah. Kata dia, meski dia memiliki bahan, tapi tidak bisa menulis. Maka, kata dia, perlu dorongan lebih dengan pendekatan nilai spiritual dan emosional.
Menurutnya, kecerdasan dan hati yang bersih akan memberi ruang yang cukup agar para peneliti bisa menterjemahkan apa yang dibaca dan dipahami ke dalam tulisan. Agus meyakin, hal itu akan mempercepat proses dibanding yang tidak punya kecerdasan emosional dan spiritual.
"Menulis sangat berkaitan erat dengan iptek. Dengan menyatunya kecerdasan emosional spiritual dengan pengetahuan, akan ada warna baru bagi semangat iptek di Indonesia," kata Agus usai peluncuran Gerakan Indonesia Menulis di Menara 165, Kamis (1/9).
Di sisi lain, ada juga stimulus berupa apresiasi tahunan di Hari Kebangkitan iptek baik hulu dan hilir. Di hulu, apresiasi diberikan kepada pemilik ide yang dituangkan dalam tulisan. Di hilir, tulisan diuji dalam bentuk praktik dan melahirkan tulisan baru. Semua dalam bahasa dokumen dan tulisan.
Menulis pun harus ada bahan dan isu strategis yang dibawa. Karena itu diperlukan pemikiran yang terstruktur. Ini berlaku pula untuk tulisan populer. Sama seperti tulisan ilmiah, Kemenristekdikti membuka peluang tulisan populer itu.
"Tulisan populer itu kan ringkasan dari tulisan-tulisan yang njelimet. Tulisan dari aneka hasil penelitian memang harus ada yang menterjemahkannya dalam bahasa populer," ujar ungkap Agus.
Kepala LIPI Iskandar Zulkarnain mengatakan, Gerakan Indonesia Menulis memang perlu didorong dan bukan hanya wacana, tapi komitmen dan operasional. Dukungan ini agar tulisan yang dihasilkan punya dampak pada pembangunan bangsa. "Kita punya tantangan untuk wujudkan komitmen ini jadi langkah nyata," ucapnya.
Sebab, bangsa kita ini bukan hanya lemah membaca, tapi juga menulis. Ini bukan persoalan substansi, tapi juga bahan bacaan yang beredar belum memiliki bahasa yang mudah dipihami masyarakat. Tulisan ilmiah hanya dibaca segmen yang paham. Padahal yang disasar bukan hanya segmen tertentu, tapi untuk semua segmen masyarkat. Ini tantangan para peneliti yang biasa menulis dalam format ilmiah untuk bisa menulis dalam bahasa populer.