Kamis 01 Sep 2016 14:29 WIB

Peran Kesultanan dalam Geliat Islam di Kalimantan

Rep: Marniati/ Red: Agung Sasongko
Masjid Sultan Suriansyah Kerajaan Banjar
Foto: IST
Masjid Sultan Suriansyah Kerajaan Banjar

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Berdirinya kerajaan-kerajaan Islam atau biasa disebut kesultanan, merupakan episode penting dalam proses islamisasi di Nusantara. Menurut Jajat Burhanuddin, dalam Islamisasi Kelembagaan Politik, munculnya kerajaan-kerajaan Islam di nusantara, membuka keyakinan bagi terintegrasinya nilai-nilai Islam ke dalam sistem sosial dan politik di nusantara.

Kerajaan-kerajaan itu menjadi basis bagi upaya penerapan ajaran Islam di kalangan masyarakat. Dengan dukungan dari para penguasa, para pedagang dan pengembara Muslim berperan sebagai pelaku ekonomi, sekaligus juru dakwah yang memperkenalkan Islam kepada masyarakat lokal.

Ada dua kerajaan Islam besar yang berdiri di Pulau Kalimantan, yaitu Kerajaan Banjar dan Kerajaan Kutai. Kerajaan Kutai terdapat di Kalimantan Timur dan Kerajaan Banjar terdapat di Kalimantan Selatan.

(Baca: Kapan Islam Masuk ke Kalimantan)

Kutai merupakan kerajaan tertua di Indonesia. Kerajaan ini diperkirakan muncul pada abad ke-5 M, atau kurang lebih 400 M.

Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusento dalam Sejarah Nasional Indonesia III, Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan Islam di Indonesia menjelaskan, sebelum kedatangan Islam, Kerajaan Kutai bercorak Nusantara-Hindu.

Sedangkan di pedalaman, kebanyakan penduduk masih menganut animisme dan dinamisme. Pada masa pemerintahan Raja Mahkota, datanglah dua orang Muslim, masing-masing bernama Tuan di Bandang dan Tunggang Parangan.

Kedua mubalig itu datang ke Kutai setelah orang-orang Makassar masuk Islam, tetapi beberapa waktu kemudian keluar lagi dari Islam. Karena itu, Tuan di Bandang kembali ke Makassar, sedangkan Tuan Tunggang Parangan menetap di Kutai. Raja Mahkota masuk Islam setelah merasa kalah dalam kesaktiannya. Ia kemudian mendirikan masjid dan pengajaran Islam dimulai.

Islamisasi di Kutai dan daerah sekitarnya, diperkirakan terjadi pada sekitar 1575. Penyebaran lebih jauh ke daerah-daerah pedalaman terjadi, terutama pada waktu putranya, yaitu Aji di Langgar dan pengganti-penggantinya, meneruskan perang ke daerah Muara Kaman.

Sementara itu, Marzuki dalam Tarikh dan Kebudayaan Islam menerangkan, Kerajaan Banjar merupakan kelanjutan dari kerajaan Daha yang beragama Hindu.

Peristiwanya bermula ketika terjadi pertentangan dalam keluarga istana antara Pangeran Samudera sebagai pewaris sah kerajaan Daha dan pamannya, Pangeran Tumenggung. Ketika Raja Daha, Suka Rama, hampir wafat, ia berwasiat agar yang menggantikannya adalah cucunya, Pangeran Samudra.

Hal ini tidak disetujui oleh keempat putranya, terutama Pangeran Tumenggung. Setelah Sukarama meninggal, jabatan raja dipegang oleh putra tertuanya, Pangeran Mangkubumi.

Ia kemudian terbunuh oleh pegawai istana atas hasutan Pangeran Tumenggung. Akhirnya, Pangeran Tumenggung menjadi Raja Daha. Pangeran Samudra mengembara ke wilayah muara dan diasuh oleh Patih Masih. Pangeran Samudra berhasil menyusun kekuatan.

Dengan meminta bantuan dari Kerajaan Demak, Pangeran Samudra kemudian berhasil menguasai Banjar. Sesuai dengan perjanjian yang dibuat dengan Demak, ia dan seluruh kerabat keraton serta penduduk Banjar memeluk Islam. Ia kemudian masuk Islam dan menjadi raja pertama dalam kerajaan Islam Banjar, dengan gelar Sultan Suryanullah atau Suriansyah.

Daerah-daerah yang kemudian mengakui kekuasaan Kerajaan Islam Banjar adalah Sambas, Batanglawai, Sukadana, Kotawaringin, Sampit, Medawi, dan Sambangan. Sultan Suryanullah kemudian diganti oleh putra tertuanya, Sultan Rahmatullah. Raja-raja selanjutnya adalah Sultan Hidayatullah (putra Sultan Rahmatullah) dan Marhum Panambahan, yang dikenal dengan Sultan Musta'inullah. Pada masanya, Banjar mulai mengalami kekacauan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement