Sabtu 31 Mar 2018 23:16 WIB

Warisan Arsitektur Kutai Kertanegara

Kesultanan Kutai Kertanegara pun mulai mendirikan bangunan-bangunan baru.

Masjid Jami Adji Amir Hasanudin.
Foto: Wikipedia
Masjid Jami Adji Amir Hasanudin.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Sejak abad ke-19, kekayaan bahan bakar fosil di Pulau Kalimantan merupakan daya tarik tersendiri. Hal ini tidak terkecuali bagi Kerajaan Kutai Kertanegara. Kedatangan Belanda antara lain diiringi faktor mendapatkan sumber-sumber baru batu bara untuk mendukung industri.


Pada 1888, dibukalah untuk pertama ka linya tambang batu bara di Batu Panggal, Kesultanan Kutai Kertanegara. Kompleks pertambangan itu, yang sekarang menjadi bagian dari kota Samarinda, dirancang seorang insinyur Belanda, JH Menten. Sejak saat itu, Kutai dan Kalimantan Timur pada umumnya terkenal sebagai daerah tambang yang produktif. Sultan-sultan Kutai menerima royalti dari kegiatan pertambangan ini.

Bagaimanapun, sejak 1908 Belanda baru dapat benar-benar menguasai hulu Sungai Mahakam untuk kemudahan akses per tambangan ini. Pihak Kutai menda patkan ganti sebesar 12.990 gulden per tahun dari Belanda. Keberadaan pertam bangan lantas menggairahkan kegiatan eko nomi di Kutai Kertanegara yang me masuki abad ke-20. Hal ini didukung dengan pendirian korporasi Borneo-Sumatra Trade Co.

Pada 1924, misalnya, kesultanan ini me miliki dana bagi hasil sebesar 3,28 gulden. Bila dibandingkan daerah-daerah lain, penghasilan tersebut merupakan pencapaian yang luar biasa.

Kesultanan Kutai Kertanegara pun mulai mendirikan bangunan-bangunan baru untuk simbol kejayaan. Menjelang abad ke- 20, kerajaan ini dipimpin Sultan Ali muddin. Dia berinisiatif untuk men diri kan istana baru yang letaknya tidak begitu jauh dari istana lama yang menjadi pusat kekuasaan almarhum ayahnya pada ma sa silam. Istana baru ini terbuat dari ba han kayu ulin dan terdiri atas dua ting kat. Posisinya persis menghadap Sungai Mahakam sehingga menjadi kannya cukup strategis.

Istana ini tetap dipakai sultan beri kutnya, Parikesit, yang naik takhta pada 1920. Namun, sejak 1936 bangunan ini diperkuat dengan bahan beton yang lebih kokoh. Dalam masa restorasi tersebut, keluarga Sultan Parikesit dan elite pindah ke istana lama yang pernah dipakai Sultan Aji Muhammad Sulaiman.

Adapun proyek renovasi ini dikerjakan perusahaan Belanda, Hollandsche Beton Maatschappij (HBM) Batavia. Arsiteknya bernama Estourgie. Pada 1938, renovasi ini selesai dan keluarga Sultan Parikesit secara resmi mulai menempatinya. Pem bukaan istana baru tersebut diiringi pesta besar.

Peninggalan Sultan Sulaiman tidak hanya berupa istana lama. Pada 1874, dia membangun sebuah masjid besar sebagai sentra peribadatan di Kutai Kertanegara. Untuk menghargai legasi kakeknya itu, Sultan Parikesit pun merenovasi masjid ini sehingga kapasitasnya jauh lebih besar.

Begitu selesai, masjid ini dinamakan dengan Masjid Jami Haji Amir Hasa nuddin, yakni mengambil dari nama Amir Hasanuddin, seorang menteri Kutai Kertanegara yang berjasa dalam mengupayakan perbaikan bangunan ini. Menteri tersebut bernama gelar Pangeran Sosronegoro.

sumber : Islam Digest Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement