Jumat 05 Aug 2016 18:55 WIB

Tentang Azan, Lonceng Gereja, Toa Masjid, Wahabi, dan Musik Blues

Tujuh orang muadzin mengumandangkan adzan pertama pada salat Jumat di Masjid Agung Kasepuhan (Sang Cipta Rasa) Cirebon Jawa Barat , Jumat (3/10). Adzan yang dikumandangkan oleh tujuh orang muadzin tersebut telah menjadi tradisi di Masjid Agung Kasepuhan (S
Foto:
Musisi blues BB King

Tapi kejengkelan terhadap suara yang keluar dari masjid tentu bukan karena azannya. Ada faktor muazin yang fals tapi enggak nyadar, ada gegara jamaah malas menyumbang sehingga masjid dan langgar sukar beli toa baru meski yang lama suaranya sudah tak keruan. Namun, yang paling utama adalah banyaknya tambahan shalawat sebelum dan sesudah azan.

Soal keberatan atas tambahan-tambahan ini yang paling terkenal dari ulama Suni mazhab Syafi’i, Ibn Hajar al-Haithamy, pada abad ke-16. Kesimpulan dia bahwa itu barang adalah bid’ah sampai saat ini dipegang oleh kelompok-kelompok Islam yang menginginkan azan dilantunkan secara ringkas saja.

Di sini muncul ironi, karena umat Islam nusantara adalah salah satu pengamal utama tambahan-tambahan sebelum dan sesudah azan. Mazhab yang diacu Islam nusantara, adalah juga Syafi’I seperti Ibn Hajar. Yang keberatan kebanyakan dari golongan Salafi atau (mohon maaf harus pakai kata ini), Wahhabi.

Jadi, buat liberal yang ingin azan yang lebih ringkas, silakan hubungi kantor cabang Islam puritan setempat dan merancang gerakan bersama. Percayalah, kalau liberal dan puritan sudah bersatu, tak mungkin dikalahkan. Tengok saja koalisi AS-Arab Saudi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement