Jumat 05 Aug 2016 18:55 WIB

Tentang Azan, Lonceng Gereja, Toa Masjid, Wahabi, dan Musik Blues

Tujuh orang muadzin mengumandangkan adzan pertama pada salat Jumat di Masjid Agung Kasepuhan (Sang Cipta Rasa) Cirebon Jawa Barat , Jumat (3/10). Adzan yang dikumandangkan oleh tujuh orang muadzin tersebut telah menjadi tradisi di Masjid Agung Kasepuhan (S
Foto:
Suara azan kembali berkumandang pada Jumat (1/7) kemarin dari dalam bangunan Hagia Sophia untuk pertama kalinya sejak 85 tahun.

Tak lama, sorang sahabat lain bernama Abdullah ibn Zaid mendapatkan mimpi tentang seseorang yang mengajarkannya panggilan shalat. Mimpi itu ia sampaikan ke Rasulullah, dan jadilah lirik azan yang sampai saat ini tak berubah meski belakangan tak jarang dibenci orang-orang.

Nah, pada masa Khalifatul Khalifatul Khalifatul Rasulullah (artinya dia perwakilan ketiga selepas Nabi meninggal) Usman ibn Affan, umat Islam tambah banyak. Madinah yang jadi markasnya Muslim juga tambah ramai. Perekonomian semarak dan orang-orang rajin berbelanja. Sebab itu, Usman menilai azan sekali di masjid tak cukup. Ia kemudian mengutus satu muazin tambahan di pasar untuk berazan, dan kemudian nantinya disusul azan sesungguhnya di masjid. Jauh sebelum speaker, ini cara pertama azan dikeraskan. Di sinilah saya bayangkan emak-emak saat itu pada jengkel.

Dan seiring masa, umat Islam menemukan banyak jalan lain mengeraskan azan. Mulai dari membangun menara di samping masjid, hingga menciptakan arsitektur rumit yang bisa memantulkan suara dan membuatnya terdengar lebih keras. Kemudian datanglah teknologi pengeras suara (akrab disebut toa, di Jawa disebut corong--Red) pada awal abad ke-20. Tanpa ragu malu, orang Islam menggunakan itu teknologi guna mengeraskan suara azan dan pada akhirnya membuat jengkel orang-orang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement