REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Salah satu tujuan dari pernikahan adalah memperoleh keturunan. Jalan memperoleh keturunan itu adalah dengan hubungan suami-istri (jimak). Hubungan suami istri juga bisa menenteramkan keduanya sehingga terhindar dari jalan-jalan buruk, seperti zina.
Islam mengatur dengan baik bagaimana jimak harus dilakukan. Allah SWT berfirman, "Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam. Maka, datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki." (QS al-Baqarah [2]: 223).
Lalu, banyak juga hadis yang menerangkan bagaimana istri harus melayani permintaan suami dalam berhubungan intim. Istri hendaknya tidak menolak ajakan suami dalam berhubungan intim jika tidak ada uzur. Hal ini didasarkan pada beberapa hadis, di antaranya dari dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Apabila suami mengajak istrinya ke tempat tidurnya, lalu istri enggan sehingga suami marah pada malam harinya, malaikat melaknat sang istri sampai waktu subuh." (HR Bukhari).
Hadis sejenis seperti di atas ada beberapa. Termasuk, "Apabila seorang suami mengajak istrinya untuk berkumpul, hendaknya wanita itu mendatanginya sekalipun dia berada di dapur." (HR Tirmidzi). Seorang istri juga dilarang berpuasa sunah tanpa seizin suaminya. Hal ini dimaksudkan kalau-kalau sang suami menginginkan hubungan suami istri pada hari itu.
Beberapa aturan memang secara tekstual mewajibkan sang istri tak menolak ajakan suami jika tidak ada uzur. Uzur di sini bisa berupa saat haid, sakit, atau kelelahan. Namun, apakah hal ini juga berlaku sebaliknya? Berdosakah seorang suami yang menolak ajakan istri berhubungan intim?