Selasa 01 Mar 2016 10:35 WIB

Jasa Etnis Cina dalam Penyebaran Agama Islam di Nusantara

Santri di pedalaman Jawa tahun 1910.
Foto:
Santri di Jawa.

Lalu, kapan asal usul munculnya stigma negatif terhadap etnis Cina? Ditanya soal ini, Hermanu menjawab hal itu terjadi semenjak munculnya tragedi pembantain entnis ini pada awal abad ke-18 ( pada 9 Oktober 1740), yang dikenal dengan sebutan "Pemberonatakan Cina" di Batavia atau "Geger Pacinan" di Surakarta.

Saat itu, di Batavia muncul aksi pembersihan orang Cina oleh pihak VOC yang mengakibatkan sekitar 10.000 orang Cina terbunuh. Akibat pembantaian itu, sebagain warga entis Cina di Batavia lari ke Jawa Tengah (Surakarta). Di situ, mereka kemudian melawan Raja Paku Buwono II yang saat itu didukung VOC.

Para pelarian ini kemudian berhasil mendaulat seorang cucu Raja Mataram Amangkurat III (Raden Mas Garendi) naik takhta dengan menyandang gelar Amangkurat V. Namun, publik mengenalnya dengan sebutan "Sunan Kuning". Sayangnya, masa pemerintahan Raden Mas Garendi ini tak lama, hanya sekitar satu tahun karena perlawanan mereka berhasil diredam.

"Nah, akibat situasi ini, sosok etnis Cina kemudian berubah tak lagi seharum zaman Ceng Ho. Dulu etnis Cina ini datang ke  nusantara sebagai pedagang. Namun, secara berangsur-angsur berubah akibat tindakan (kebijakan) penjajah Belanda (VOC) yang malah mendatangkan pekerja asal Cina. Para ‘pendatang baru’ ini oleh pemerintah kolonial dipekerjakan sebagai ‘mediator’ atau jembatan bagi kelompok ekonomi kapitalis, seperti pemungut pajak, pemungut tol, penjual candu, dan lainnya,’’ kata Hermanu.

Akibat diperankan sebagai kelompok perantara kaum kapitalis itu, etnis Cina pun kemudian secara terus-menerus berada di tengah segala macam persoalan sosial, ekonomi, dan politik. Bahkan, kerap mereka berada dalam pusaran konflik yang terjadi antara pribumi dan kaum penjajah.

"Maka, kemudian muncullah stigma negatif terhadap etnis Cina ini, meskipun pada masa-masa sebelumnya (misalnya masa Laksamana Ceng Ho) punya peran atau gambaran yang sangat positif. Perlakuan negatif oleh VOC ini kemudian dilanjutkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Maka, lestarilah stigma buruk itu sampai kini. Padahal, sebenarnya tidak selalu demikian,’’ kata Hermanu.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement