REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dikeluarkannya Surat Edaran Bupati Batang Nomor 800/SE/2045/2015 tertanggal 28 Desember 2015 dikritik organisasi masyarakat (ormas) Lembaga Studi Sosial dan Agama (ELSA). Dalam sebuah artikelnya berjudul Mengatur Privasi via Regulasi yang dirilis lewat situs elsaonline.com, Direktur ELSA Tedi Kholiludin mempertanyakan ketika keyakinan keagamaan diatur dalam bentuk peraturan formal.
Dia menjelaskan, bupati, wali kota, gubernur ataupun lainnya adalah seorang pejabat publik. Tugasnya adalah mengatur lalu lintas hak warganya, termasuk dalam urusan keyakinan keagamaan. Kepala daerah harus memastikan bahwa semua warganya terjamin haknya untuk beragama dan menjalankan ajaran agamanya.
"Setiap produk yang dikeluarkan, haruslah mencerminkan rasa keadilan, baik formil maupun materialnya. Pemimpin daerah, sebagai yang memiliki otoritas, semestinya harus netral dari klaim agama,"katanya.
(Baca: Tantangan Bupati Batang Terbitkan Surat Edaran Shalat Berjamaah).
"Hemat saya, soal ketaatan seseorang terhadap agamanya, tidak berada pada domain negara. Hal tersebut merupakan wilayah privat atau forum internum. Negara harus menghargai semua keyakinan dan implementasi atas keyakinannya tersebut,"tambahnya.
Tedi menjelaskan, intervensi negara baru bisa dilakukan melalui instrumen hukum yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan atau moral publik.
"Sekali lagi, masalah bukan terletak pada niat bupati untuk meningkatkan kualitas keimanan seseorang. Ajakan tersebut, tidak ada yang menyangkal, adalah sesuatu yang baik. Namun, duduk masalahnya bukan disitu. Problemnya adalah niat itu kemudian termanifestasi dalam sebuah kebijakan publik,"jelasnya.
Menurutnya, ranah untuk menyeru perbaikan kualitas ibadah merupakan tugas kelompok agama seperti Majelis Ulama, Nahdlatul Ulama, Muhammadiyyah, Persekutuan Gereja-gereja dan lainnya.
(Di Batang, Rapat PNS Berhenti Ketika Azan Berkumandang).