REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Peneliti Howard M Federspiel dalam disertasi berjudul "Persatuan Islam: Islamic Reform in Twentieth Century Indonesia (1970)" mengakui, pada masa kegemilangannya, yakni pada 1920-an, 1930-an, 1950-an, Persatuan Islam merupakan perhimpunan yang sangat ideologis dan kontroversial." Persis memiliki posisi penting dalam dialektika pemikiran Islam di Indonesia.
Perannya tidak dilihat dari skala besar kecil organisasi, melainkan wacana pemikiran keagamaan. Inilah karakter khas Persis. Banyak tokoh-tokoh yang besar di ormas lain, seperti Muhammadiyah, Sarekat Islam, dan DDII, dulunya menimba ilmu di Persis.
Dadan Wildan dalam Gerakan Dakwah Persatuan Islam menambahkan, tampilnya Persis dalam gerakan pemurnian Islam pada awalnya dilakukan dengan isu-isu kontroversial yang bersifat gebrakan.
(Baca: Di Gang Belakang Pakgade Lahirlah Persatuan Islam)
Pendekatan yang diambil lebih polemik dan mengundang kontroversi. Karena itu, ketika usia Persis baru tiga tahun telah timbul reaksi keras dari kalangan ulama tradisionalis (NU). Perdebatan itu diakomodasi lewat terbitan, seperti majalah Pembela Islam dan al-Lisan.
Dalam konteks ini, pemikiran A Hassan menduduki tempat tersendiri. Ia dikenal sebagai pelopor dalam pembaruan hukum Islam di Indonesia sekaligus ideolog gerakan Persis. Akh Minhaji dalam A Hassan: Sang Ideolog Reformasi Fikih di Indonesia 1887-1958 mengatakan, A Hassan banyak memengaruhi pemikiran M Natsir, M Isa Anshory, Abdul Kadir Hassan, dan tokoh-tokoh Persis yang lebih belakangan.
"Latar belakang pandangan dan aktivitas Natsir kerap kali merepresentasikan kesinambungan dari ide-ide A Hassan," kata Akh Minhaji. Setidaknya, bagi Natsir, A Hassan menarik lantaran keluasan ilmunya dalam bidang keislaman dan pokok-pokok pikirannya dalam politik.
(Baca Juga: Persis Sejak Awal Deteksi Ancaman Aliran Sesat)
Tokoh satu ini terkenal dengan tradisi jadal (debat)-nya. Diskusi-diskusi A Hassan dan publikasinya menjadi rujukan kelompok pembaru Tanah Air. Ia secara rutin diundang oleh Majelis Fatwa Wattarjih Al Irsyad dan Majelis Tarjih Muhammadiyah untuk mendiskusikan persoalan keagamaan. Ia juga menjalin korespondensi dengan Sukarno, sebagaimana termuat dalam kumpulan tulisan Bung Karno bertajuk Di Bawah Bendera Revolusi.
Ulama ini juga banyak memantik polemik dengan kelompok tradisionalis yang diwakili beberapa ulama NU dan Perti serta tokoh reformis semacam Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy. Namun, "Di tangan kaum intelektual Persislah pemikiran kaum pembaru yang cenderung ke arah puritanisme ini menemukan bentuknya dan dikenal ke seluruh pelosok nusantara," kata Tiar Anwar.
Pada waktu kemudian, Persis lebih menekankan pada aktivitas dakwah dan tarbiyah. Dalam hal dakwah, Persis beberapa kali mengadakan rangkaian tabligh ke berbagai daerah. Dalam tarbiyah, sejarah mencatat gerakan ini cukup banyak mengadakan kuliah-kuliah menyangkut berbagai persoalan keagamaan, baik bagi orang dewasa maupun anak-anak. Sekitar 1927, sebuah kelas diselenggarakan untuk para pemuda yang sedang menjalani masa studi di sekolah menengah Pemerintah Belanda.