Jumat 30 Oct 2015 21:50 WIB

Operasi Keperawanan, Bolehkah?

Rep: Hanan Putra/ Red: Agung Sasongko
siluet muslimah
Foto: zawaj.com
siluet muslimah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam budaya ketimuran, keperawanan adalah simbol kehormatan dan kesucian seorang wanita. Mereka memahami keperawanan tersebut ditandai dengan utuhnya selaput dara sampai memasuki pernikahan.

Lantas bagaimana nasibnya wanita yang mengalami kecelakaan atau penyakit yang menyebabkan rusak atau robeknya selaput dara mereka? Atau bagi wanita yang pernah khilaf melakukan zina. Apakah mereka tersebut dibolehkan melakukan operasi pengembalian selaput dara demi menjaga aib dan kehormatan mereka?

Para ulama fikih kontemporer sering mengistilahkan hal ini dengan ritqu ghisyya al-bikarah. Istilah ini benar-benar spesifik yang mengkaji soal ghisyya al-bikarah yang berarti selaput dara. Soal definisi keperawanan, sebenarnya tak bisa disamakan dengan selaput dara. Seorang wanita masih bisa disebut perawan walau selaput daranya telah rusak, selama ia belum bercampur dengan laki-laki.

Sebelum masuk ke ranah fikih, perlu dikaji tujuan dan dampak positif-negatif dari tindakan operasi tersebut. Tujuannya untuk menutup aib si wanita dan keluarganya. Di samping itu, untuk mencegah timbulnya prasangka buruk dari calon suami atau keluarganya. Apalagi sampai berujung pada persengketaan yang merusak rumah tangga. Bisa jadi kasus si istri yang rusak keperawanannya karena penyakit, kecelakaan, atau olahraga berat. Namun, dia dijustifikasi telah berzina.

Dari sisi negatifnya, bisa jadi tindakan tersebut menjadi motif penipuan. Seorang wanita pezina bisa dengan mudahnya kembali disebut perawan dengan operasi ini. Tentu hal ini menzalimi pihak calon suami dan keluarganya. Hal ini juga mendorong terjadinya perzinaan karena kaum wanita tak lagi kuat menjaga kehormatannya. Mereka bisa terjatuh pada perzinaan dengan harapan bisa kembali perawan dengan operasi. Di samping itu, teknis pelaksanaan operasi tentu membuka aurat mughallazhah wanita. Hal ini tentu tidak diperbolehkan kecuali dalam keadaan darurat, seperti melahirkan dan tujuan pengobatan.

Berpijak dari konsekuensi positif-negatif ini, para ulama masih berbeda pendapat soal kebolehan operasi selaput dara. Syekh Muhammad Sholih al-Munajid dalam pembahasan qadhaya fiqhiyah mu'ashirah mengelompokkan pendapat ulama kepada dua jenis. Pertama, ulama yang mengharamkan secara mutlak operasi tersebut. Apalagi jika rusaknya selaput dara disebabkan karena wanita tersebut pezina.

Pendapat ini dikemukakan Muhammad al-Mukhtar asy-Syanqithi. Ia lebih mengedepankan dampak buruk dari operasi perbaikan selaput dara tersebut. Sebagaimana kaidah fikih, mencegah kemudharatan harus didahulukan daripada meraih kebaikan. Menurut asy-Syanqithi, operasi semacam ini akan membuka peluang bagi gadis remaja melakukan perzinaan karena mudahnya selaput dara diperbaiki. Hal tersebut juga termasuk penipuan, pemalsuan, dan kebohongan yang dilakukan kepada calon suami.

Adapun bagi wanita yang rusak selaput daranya karena alasan-alasan syar'i, seperti kecelakaan, penyakit, olahraga, atau pemerkosaan, sebaiknya lebih baik berterus terang. Mengawali pernikahan dengan keterbukaan dan terus terang tentu merupakan langkah positif. Lelaki yang bijaksana pasti bisa memahami kondisi wanita yang akan menjadi istrinya.

Faktanya, selaput dara wanita tak selalu robek dalam hubungan suami istri. Data medis menyebutkan, hanya 60 persen selaput dara yang berdarah ketika berhubungan suami istri. Jadi, persoalan ini sebenarnya tak perlu terlalu dikhawatirkan si calon istri. Adapun menjalani operasi selaput dara, tentu mengambil risiko dari segi hukum fikihnya.

Misalkan, seorang yang akan menjalani operasi selaput dara, tentu akan terbukalah aurat mughallazahnya. Hal ini bertentangan dengan kaidah fikih yang melarang mencegah sesuatu yang haram dengan yang haram pula. Ibaratnya, hanya mencuci baju dengan air kencing. Menghindari kemudharatan dengan melakukan hal yang diharamkan, tentu hasilnya nol.

Sedangkan pendapat kedua, para ulama yang memperbolehkan operasi ini dengan alasan-alasan tertentu. Misalkan, seorang wanita yang rusak selaput daranya karena kecelakaan, penyakit, olahraga, atau mengalami pemerkosaan. Sedangkan, bagi wanita yang memang masuk dalam kategori pezina, mereka tetap diharamkan untuk melakukan operasi. Bahkan, sebagian dari ulama dari kalangan ini pun membolehkan wanita yang dahulu khilaf melakukan zina, namun telah bertobat nasuha dari dosanya.

Pendapat ini dipegang ulama Mazhab Hanafi. Mereka lebih mengedepankan dampak positif dari tindakan tersebut. Menurut mereka, wanita-wanita yang diberi pengecualian tersebut sejatinya masih disebut perawan. Mereka dapat menikah layaknya wanita perawan lainnya. Sementara, wanita yang dahulu khilaf berbuat zina, ulama Hanafiyah menegaskan untuk tetap memelihara aibnya, termasuk dengan jalan operasi pemulihan selaput dara. Syariat menegaskan, seseorang harus menutup aib dan maksiat yang pernah dilakukannya. Demikian disebutkan dalam Majma' al-Anhur fi Syarh Multaqa al-Abhur.

"Menurut Abu Hanifah, jika masyarakat mengetahuinya sebagai seorang perawan, mereka akan mencelanya jika dia mengakui perbuatan zinanya. Oleh karena itulah, dia tidak perlu untuk mengakuinya. Dengan demikian, cukuplah sikap diamnya (sebagai bentuk persetujuan nikahnya) agar maslahatnya tidak terabaikan," jelas ulama Mazhab Hanafiyah dalam kitab Nashb ar-Rayah.

Dengan operasi pemulihan selaput dara tersebut, seorang wanita yang memang sejatinya perawan bisa terselamatkan dari prasangka buruk calon suami dan keluarga suaminya. Hal ini berdalil dengan firman Allah SWT, "Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan buruk sangka karena sebagian dari buruk sangka itu dosa." (QS al-Hujarat [49]: 12).

Ulama-ulama kontemporer menilai pendapat kedua inilah yang lebih kuat. Hal ini berdalil dengan kaidah fikih, ad-Dharar yuzal (yang berpotensi membawa kemudharatan harus dicegah). Soal membuka aurat ketika operasi, hal ini bisa diperbolehkan. Berdalil dengan kaidah, sesuatu yang masyru' (disyariatkan) akan menjadikan wasilahnya juga ikut masyru'. Misalkan, shalat yang hukumnya masyru', hal-hal yang menjadi wasilah hingga terlaksananya shalat juga menjadi masyru', seperti wudhu dan tayamum.

Demikian juga soal operasi perbaikan selaput dara. Jika dari segi hukumnya sudah dihukum boleh, hal-hal yang menjadi wasilah seperti teknis operasinya juga menjadi boleh. Namun, para ulama mensyaratkan, operasi tersebut harus dilakukan oleh dokter wanita.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement