Rabu 28 Oct 2015 23:14 WIB

Menag: Pisahkan Istilah Radikalisme dari Ekstrimisme

Mencegah Paham Radikal.  (ilustrasi)
Foto: Republika/ Tahta Aidilla
Mencegah Paham Radikal. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menilai istilah radikalisme agama perlu dipisahkan dari ekstrimisme karena keduanya memiliki arti dan tujuan yang berbeda yang belum tentu saling berkaitan.

"Perlu kita satukan pemahaman mengenai radikalisme dan ekstrimisme agar tidak menimbulkan kesalahpahaman di kemudian hari," kata Menteri Lukman saat membuka Dialog Pencegahan Paham Radikal, Terorisme, dan ISIS di Yogyakarta, Rabu Malam.

Menurut Menteri Lukman, istilah "radikal" memiliki akar kata "radiks" yang berarti mengakar atau mendalam. Sementara, dari sudut pandang agama, memahami serta mengamalkan suatu ajaran agama secara mendalam dan mengakar memang sudah semestinya dilakukan oleh masing-masing pemeluk.

"Agama memang harus diyakini, menghujam dalam hati sanubari, fikiran, dan terefleksi dalam tindakan dan sikap," kata dia.

Dengan demikian, menurut Lukman, dalam konteks keberagamaan, radikalisme sebetulnya bukan sesuatu yang harus dicegah karena semua agama memang pada dasarnya mengajarkan setiap pemeluknya untuk memegang agama secara mengakar dan mendalam.

Akan tetapi, kata dia, yang perlu diperangi bersama-sama adalah ekses negatif yang muncul dari penyikapan sesuatu yang radikal tersebut yang diwujudkan dengan pemaksaan kehendak dengan menghalalkan segala cara.

"Sehingga "Thatorruf" (ekstrimisme) atau pemaksaan kehendaklah yang perlu dicegah, bukan radikalnya," kata dia.

Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Kementerian Agama, menurut dia, banyak faktor eksternal yang mendorong seseorang melakukan kekerasan atau hal ektrim lainnya, di antaranya disebabkan perasaan diperlakukan tidak adil.

Di sisi lain, sistem hukum dan pemerintahan yang berlaku dianggap tidak cukup responsif menyikapi ketidakadilan yang dihadapi seseorang tersebut.

"Kemudian dia merespons secara instan dengan menggunakan cara-cara kekerasan," kata dia.

Faktor lainnya, kata dia, memang dapat berasal dari pemahaman agama yang tidak tepat atau belum lengkap didapatkan sehingga pada gilirannya pemahaman agama yang keliru itu dijadikan faktor pembenar aksi-aksi kekerasan.

"Sehingga seperti kata jihad seringkali dijadikan justifikasi untuk melakukan aksi terorisme, padahal kata jihad sendiri memiliki banyak arti, bukan hanya perang," kata dia.

Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Yunahar Ilyas mengatakan sependapat dengan Menteri Lukman mengenai perbedaan radikalisme dengan ekstrimisme Hanya saja, Yunahar menambahkan, pemahaman yang radikal atau mendalam mengenai suatu agama juga tidak boleh menghegemoni paham-paham yang lain. "Tidak boleh menghegemoni sehingga menolak paham-paham yang lain dengan cara kekerasan," kata dia.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement