Rabu 16 Sep 2015 17:15 WIB

Hukum Mengadopsi Anak (Habis-2)

Anak adopsi/ilustrasi
Foto: sheknows.com
Anak adopsi/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui fatwanya tentang adopsi anak juga berbicara hal serupa. Pembahasan tabanni ini sudah dibahas dan menghasilkan fatwa pada menetapkan fatwa sejak Rapat Kerja Nasional MUI yang berlangsung Maret 1984. Dalam satu butir pertimbangannya mengatakan, Islam hanya mengakui keturunan (nasab) yang sah, yaitu anak yang lahir dari perkawinan (pernikahan).

Fatwa MUI menyebutkan, boleh saja jika ingin mengadopsi anak, tetapi jangan memutuskan hubungan keturunan (nasab) si anak dengan ayah dan ibu kandungnya. Sebab, hal ini bertentangan dengan syariat Islam dan banyak dalil yang mendasarinya. Di samping itu, adopsi yang dilakukan harus atas dasar rasa tanggung jawab sosial untuk memelihara, mengasuh, dan mendidik anak dengan penuh kasih sayang. Menurut MUI perbuatan seperti ini terpuji dan termasuk amal saleh.

Ulama Nahdlatul Ulama (NU) dalam Munas Alim Ulama di Situbondo, Jawa Timur, pada 21 Desember 1983 juga menguatkan hal ini. Mengadopsi anak untuk melindungi dan menjamin pendidikan serta masa depannya tentu adalah perbuatan baik. Namun, jika mengangkat anak orang lain untuk diperlakukan, dijadikan, dan diakui sebagai anak sendiri hukumnya tidak sah.

Hukum positif negara juga sudah mengatur persoalan ini. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah mengatur persoalan terkait anak adopsi. Ada 93 pasal dalam undang-undang ini yang mengatur banyak hal soal adopsi anak. Demikian pula Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang turut memperhatikan aspek ini.

Pasal 171 huruf H KHI menyebutkan, anak angkat adalah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya, beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan.

Soal warisan, tentu anak angkat tidak bisa mewarisi harta apa pun sebagaimana layaknya anak kandung. Untuk menyiasatinya, orang tua angkatnya bisa mewasiatkan maksimal sepertiga dari hartanya untuk anak angkatnya.

Demikian juga soal interaksi dalam keluarga. Karena hubungan antara anak angkat dan orang tua angkatnya bukanlah hubungan nasab dan mahram, tentu mereka tidak bisa leluasa dalam berinteraksi. Ada batasan hijab (memakai jilbab) bagi anak angkat perempuan jika berinteraksi, walau dengan bapak angkatnya sendiri. Demikian pula sebaliknya

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement