Kamis 30 Jul 2015 10:30 WIB

Klasifikasi Pesantren Menurut Penelitian Kemenag

Pesantren Arafah, Cililin Bandung
Foto:

Sedangkan pesantren klasifikasi C memiliki karakteristik sedang mengalami pertumbuhan yaitu proses perubahan yang alamiah, pola kepengurusan individual, sumber belajar yang terbatas pada kitab-kitab standar level awwaliyah hingga wustha, sumber daya manusia yang dimiliki masih minim, sarana prasarana masih dalam  kondisi terbatas pada ruang belajar, asrama dan masjid.

Penyelenggaraan pendidikan masih pendidikan dasar-menengah pertama atau atas. Pada aspek nilai-nilai internal, tradisi pesantren sudah ditanamkan, namun belum stabil dan kurang dipadukan dengan kesadaran terhadap nilai-nilai universal kehidupan sosial politik dan lingkungan yang lebih luas. Demikian pula, pada ketahanan lembaga masih lemah, baik dalam penyelenggaraan pendidikan formal dasar-menengah, ketiadaan usaha ekonomi maupun  program pengembangan kelembagaan dan kerjasama.

Tanpa bermaksud apapun kecuali untuk kepentingan akademik, berdasar klasifikasi pesantren A, B dan C, tim peneliti memaknai  klasifikasi tersebut, dengan menetapkan  tipologi  pesantren menjadi; “pesantren ideal”, “pesantren transformatif”, dan “pesantren standar”.

Meminjam teori ahli psikologi organisasi Bruce Tackman, tahap-tahap perkembangan organisasi meliputi forming, storming, norming dan performing yang dimodifikasi sesuai perkembangan kelembagaan pesantren. Pesantren ideal (tipe A) adalah pesantren yang telah mencapai kondisi performing yaitu telah  melampaui forming, storming, dan norming.

Pesantren ini telah berhasil memerankan seluruh potensi sumber daya yang dimiliki dalam berbagai kiprah pesantren meliputi pendidikan, sosial, ekonomi bahkan politik bagi kemajuan masyarakat dan bangsa.  Pesantren transformatif (tipe B) adalah pesantren dalam posisi norming dan storming, sedangkan pesantren standar (tipe C) adalah pesantren yang sedang berkembang atau dalam tahap forming.

Tahap forming adalah tahapan awal pendirian dan pertumbuhan yaitu ketika prosedur dan aturan main dalam organisasi sedang tumbuh, tetapi belum stabil. Storming adalah tahapan perjuangan ketika timbul berbagai macam konflik dalam proses penguatan kelembagaan. Norming adalah tahapan setelah melewati storming, yang dilanjutkan dengan lahirnya konsensus penataan kelembagaan meliputi peran, struktur, dan norma-norma sebagai pijakan dalam menjalankan roda organisasi guna mencapai tujuannya. Pada tahapan ini, sudah tercipta komitmen organisasi dan kohesi para pengelola dan lingkungannya.

Sedangkan tahapan performing adalah ketika suatu organisasi telah cakap dan dapat bekerjasama sehingga organisasi dapat berfungsi optimal dan efektif dalam mencapai tujuannya. Setiap organ dalam kelembagaan sudah bersikap mandiri dan fungsional satu sama lain. Dengan demikian, tahapan performing, dapat diposisikan sebagai pesantren yang sudah mandiri, dapat memerankan secara optimal peran multi fungsinya dalam bidang sosial pendidikan, dakwah dan fungsi pemberdayaan masyarakat, serta menjadi penopang pembangunan nasional.

Jika tawaran “tipologi pesantren baru” itu disetujui dan digunakan untuk memotret 783 sampel pesantren dalam penelitian “pemetaan kapasitas kelembagaan pesantren”, maka  dikategorikan menjadi: 15,71 persen pesantren ideal, 69,22 persen pesantren transformatif dan 15,07 pesantren pesantren standar. Semoga tawaran ini bisa digunakan untuk memotret pesantren-pesantren lainnya.  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement