Selasa 28 Jul 2015 10:53 WIB

'Jualan' Islam Moderat Lewat Sekolah Indonesia Luar Negeri

Umat Muslim melaksanakan shalat id di tepi rel kereta api di Mumbai, India, (18/7).
Foto: Salat berjamaah umat Islam di AS
Salat berjamaah umat Islam di AS

Potensi Soft Diplomacy Pendidikan Agama  

Bisakah pendidikan agama pada Sekolah Indonesia Luar negeri didorong untuk memperkuat misi soft diplomacy Pemerintah Indonesia. Keberadaan SILN tidak banyak jika dibandingkan dengan jumlah Kedutaan Indonesia di Luar Negeri. Sampai tahun 2014, terdapat kurang lebih lima belas (15) Sekolah Indonesia Luar Negeri.

Kasus Sekolah Indonesia Bangkok (SIB), yang penulis pernah kunjungi pada akhir Desember 2014 lalu, memperlihatkan potret pendidikan agama sebagaimana yang selama ini berjalan pada sekolah-sekolah di Indonesia. SIB menggunakan ketentuan sistem pendidikan nasional Indonesia. Sekolah itu telah memberikan pelayanan pendidikan agama bagi 75 siswa yang tersebar pada jenjang SD, SMP dan SMA dengan menyediakan dua guru agama, yaitu: guru agama Islam dan guru agama Kristen.

Karena dirasa tidak cukup, pihak sekolah menambah ekstrakulikuler pendidikan agama Islam dalam bentuk Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA) bagi siswa jenjang SD dan SMP yang khusus beragama Islam. Bahkan setiap memasuki bulan Ramadhan sekolah menyelenggarakan Pesantren Kilat (Sanlat). Kegiatan itu menjadi moment kampanye nilai saling memahami dan menghormati keragaman agama, budaya, dan bangsa.    

Jika dalam pembelajaran intrakulikuler pendidikan agama di kelas menggunakan kurikulum standar yang disediakan Kementerian Agama, maka materi untuk pembelajaran TPA dan Pesantren Kilat dikreasi sepenuhnya oleh pihak sekolah, guru agama, dan warga KBRI. Nampaknya, bentuk kreasi itu diadopsi dari pengalaman sekolah-sekolah di Indonesia. 

Dilihat dari sisi pendekatan pembelajaran, guru pendidikan agama di SIB mencoba untuk mengaitkan permasalahan sosial ke dalam materi-materi pendidikan agama. Ada upaya dari pihak SIB dalam proses pembelajaran pendidikan agamanya dikontekkan ke dalam perkembangan kehidupan masyarakat Bangkok yang sedang berproses menuju masyarakat ASEAN.

Sekolah-sekolah di Indonesia tidak sedikit telah mempraktekkan pendekatan pembelajaran pendidikan agama non-konservatif, misalnya yang dilakukan oleh Sekolah Dwi Warna Bogor dan Sekolah Muhammadiyah Kupang NTT. Pendekatan pembelajaran pendidikan agama non-konservatif itu mengorientasikan  peserta didik agar paham dan komitmen terhadap agamanya, dan pada waktu yang sama juga mendorong lahirnya sikap menghormati pemeluk dan ajaran agama yang lain untuk saling berdampingan dalam kemajemukan.

Jika pendidikan agama di SIB dipoles dengan mereflikasi sekolah-sekolah di Indonesia yang sudah mengujicobakan pendekatan pembelajaran pendidikan agama non-konservatif, tentunya harapan dan peluang pendidikan agama di SIB (khususnya dan mungkin juga di SILN lainnya) menjadi potensi misi diplomasi Islam moderat sepertinya akan mudah diwujudkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement