Kamis 07 Dec 2023 19:31 WIB

Komisi Dakwah MUI: Penting Kembangkan Pemahaman Islam Moderat

Islam yang moderat bukan berarti saling bertukar akidah dengan umat lain.

Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ahmad Zubaidi.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ahmad Zubaidi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kiai Haji Ahmad Zubaidi mengemukakan penting untuk mengembangkan pemahaman Islam yang moderat karena hal itu sesuai dengan cita-cita para pendiri bangsa, yaitu Indonesia sebagai negara yang berprinsip Bhinneka Tunggal Ika.

Ahmad Zubaidi menjelaskan Islam pada prinsipnya juga terbuka dan inklusif sehingga Islam yang moderat sejatinya tidak sulit untuk diterapkan dalam kehidupan keseharian.

Baca Juga

"Saya kira penting sekali pemahaman Islam yang moderat terus dikembangkan kepada umat Islam di Indonesia supaya pandangan mereka senantiasa inklusif. Konsep inklusivitas itu sebenarnya bukanlah suatu sikap yang dibuat-buat, tetapi sudah dari permulaannya Islam itu inklusif. Ia dapat menerima dan hidup berdampingan dengan agama lainnya,” kata Kiai Ahmad Zubaidi di Jakarta, Kamis (7/12/2023).

Dia melanjutkan perbedaan agama tidak seharusnya menjadi sekat yang membatasi relasi antara umat Islam dan non-Islam. Menurut ia, Islam yang moderat bukan berarti saling bertukar akidah dengan umat lain karena antarumat beragama seharusnya dapat menjalin hubungan yang rukun dan harmonis meskipun berbeda keyakinan.

Zubaidi menyebut Alquran telah mengajarkan cara-cara bertoleransi, terutama saat membina hubungan dengan kelompok di luar diri mereka. Dalam Alquran Surat Al Kafirun ada petikan ayat Lakum diinukum wa liya diin, yang berarti "bagimu agamamu, bagiku agamaku".

Zubaidi menjelaskan petikan surat itu menjadi garis batas yang jelas dalam menunjukkan sikap umat Islam terhadap ajaran agama yang berbeda. Ia mencontohkan Islam yang moderat dan sikap-sikap toleransi saat itu diterapkan Nabi Muhammad SAW, terutama saat dia memimpin Madinah. Di Madinah ada pemeluk Islam, Nasrani, dan Yahudi yang hidup berdampingan.

Zubaidi menyebut pada masanya, Rasulullah SAW memimpin Madinah tanpa membeda-bedakan. Bahkan, untuk menjamin kehidupan yang baik antara agama-agama yang ada di Madinah kala itu, Rasulullah SAW membuat perjanjian yang disebut dengan Perjanjian Madinah.

"Perjanjian atau Piagam Madinah dikenal juga dengan istilah Shohifah Madinah. Beberapa sumber juga menyebut dengan nama Traktat Madinah atau Madinah Charter. Intinya dari perjanjian ini adalah untuk melambangkan bahwa di zaman itu, Madinah telah berhasil menjadi negara yang sangat plural dalam menjamin kehidupan beragama rakyatnya," katanya.

Ia menjelaskan pentingnya sikap toleransi dituangkan dalam pasal pertama Piagam Madinah yang berbunyi: Innahum ummatun wahidah (mereka adalah umat yang satu).

Zubaidi menilai pernyataan itu punya esensi yang sama dengan Bhinneka Tunggal Ika, yang berarti walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu jua.

"Undang-Undang Dasar 1945 itu secara substansi mirip dengan piagam Madinah. Tentu ini bukan kebetulan semata, saya kira memang para pendiri bangsa kita sudah mempelajari itu dan kemudian menginspirasi mereka dalam pembentukan UUD 1945 sebagai dasar negara kita," kata Zubaidi.

Oleh karena itu, Zubaidi berpendapat mereka yang moderat dalam beragama, termasuk umat Islam, punya kecenderungan menempatkan sikap toleran sebagai ukuran keimanan.

"Jika kita menyatakan diri sebagai orang yang punya iman yang kuat maka besar tanggung jawabnya untuk mengedepankan toleransi dalam kesehariannya. Karena itu, menjadi suatu hal yang mustahil jika kemudian ada orang yang merasa kuat imannya namun ia menjadi semakin eksklusif dan intoleran terhadap pemeluk agama lain. Kalau ada orang yang mengaku baik keagamaannya namun ia bersikap intoleran, maka ini adalah pandangan yang tidak bisa dibenarkan," jelasnya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement