Senin 20 Jul 2015 07:15 WIB

Bagaimana Pemuka Agama Memandang Konflik Berbasis Agama?

 Warga bersama sejumlah Ormas melakukan aksi menolak keberadaan ajaran Ahmadiyah di lingkungan Bukit Duri, Tebet, Jakarta, Ahad (14/6). (Antara/Akbar Nugroho Gumay)

Hasil Penelitian 

Dari hasil laporan penelitian tersebut diketahui bahwa pengetahuan penyuluh agama, baik yang berstatus PNS maupun honorer, cukup baik, khususnya yang berkaitan dengan “agama”, namun pengetahuan mereka tidak diikuti dengan “skill” dalam memahami struktur sosial masyarakat, terutama dalam melakukan deteksi dini kerawanan sosial. Bahkan secara faktual, mereka tidak memiliki peta kerawanan sosial, kecuali “sebatas” pengetahuan mereka yang tidak secara tekstual. Sikap inferior, lemahnya skill dan minimnya fasilitas juga merupakan indikasi penting bagaimana posisi penyuluh dalam resolusi konflik tidak tampak.

Para penyuluh umumnya hanya berperan dengan memberikan bimbingan kepada jamaah binaan masing-masing untuk tidak melakukan tindakan anarkis, tetap menjaga keamanan, ketertiban, dan upaya penolakan terhadap  pendirian rumah ibadat lain harus dilakukan sesuai dengan norma dan hukum yang berlaku. 

Para penyuluh tidak secara langsung terlibat dalam penangan konflik, mereka hanya melakukan koordiasi dengan para pihak terkait dan memantau serta melaporkan perkembangan pasca konflik. Para penyuluh lebih mengutamakan pembinaan keagamaan di wilayah kerjanya masing-masing agar umatnya lebih mendalami dan melaksanakan ajaran agamanya. Para penyuluh umumnya memilih bersikap pasif, tidak ada satupun yang terlibat langsung dalam konflik tersebut secara langsung. Peran penyuluh agama juga tidak nampak dalam melakukan upaya deteksi dini dan upaya preventif lainnya bagi penanganan konflik

Persoalan posisi penyuluh dihadapkan pada tiga hal. Pertama, sikap inferior yang diakibatkan oleh persepsi mereka tentang “reward”, fasilitas yang diterima. Kedua, posisi yang relatif lebih lemah dibanding beberapa tokoh agama lokal (yang kadang memiliki reputasi regional dan bahkan nasional) di mata masyarakat. Ketiga, harapan dan beban kerja yang tidak diikuti dengan perhatian (fasilitas) yang diberikan oleh pemerintah.

Di samping adanya beberapa factor yang telah disebutkan di atas, sebagian penyuluh agama ternyata dalam posisi tidak netral, secara peribadi mereka memiliki keberpihakan pada salah satu kelompok karena adanya “prejudice” terjadap kelompok lain, misalnya dalam kasus GKI Yasmin Kota Bogor dan kasus gereja HKBP-PTI di Ciketing Bekasi,  dalam perspektif sebagian penyuluh, pihak Gereja sengaja berusaha membangun Gereja di tengah mayoritas muslim karena memiliki tujuan ingin mempengaruhi umat Islam dalam hal keyakinan agama atau “kristenisasi”.

Demikian halnya dalam kasus Ahmadiyah di Cikeusik Pandeglang dan kasus Ahmadiyah dan Tijani di Sukabumi, sebagian penyuluh agama ternyata dalam posisi tidak netral, mereka berdalih secara moral dan sosial ikut bertanggung jawab untuk melakukan kegiatan pembelaan terhadap umat/masyarakat binaannya dari berbagai  gangguan  yang merugikan akidah.

selanjutnya strategi pemerintah..

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement