Sabtu 18 Jul 2015 05:15 WIB

Pelayanan Keagamaan Bagi Masyarakat Perbatasan

Hasil riset menunjukkan bahwa; pada masyarakat perbatasan, identitas kebudayaan bukan sesuatu yang dikontestasikan, karena umumnya mereka memiliki rumpun kebudayaan yang nyaris sama. Menjadi berbeda bukan karena bahasa atau nilai, tetapi lebih disebabkan karena politik dan ekonomi yang berbeda. Perbedaan politik dan ekonomi ini direproduksi sedemikian rupa, sehingga menimbulkan pertukaran kefaedahan.

Di perbatasan dengan ekonomi yang lebih baik di Indonesia, maka masyarakat negara tetangga akan memanfaatkan potensi tersebut untuk kemudian dibawa ke daerahnya, dan demikian sebaliknya. Akibatnya sedikit kasus diskriminasi pelayanan publik muncul, terutama pelayanan publik yang ‘bisa’ dirasakan keduanya. Namun, karena diskriminasi ini diproduksi terus-menerus, akhirnya menjadi peristiwa yang tidak dipersoalkan sama sekali.

Secara umum persoalan pelayanan keagamaan di wilayah perbatasan terkait dengan faktor geografis, tidak hanya jarak antara pusat pelayanan dengan masyarakat, tetapi juga jarak tinggal aparatur dengan tempat kerja. Faktor ini kemudian mempengaruhi banyak hal, termasuk persebaran dan sekaligus kualitas pelayanan; Problem pelayanan KUA di perbatasan paling menonjol adalah fenomena perkawinan tidak tercatat.

Seperti kasus pernikahan siri di Jawa, umumnya pernikahan siri dilakukan karena tingginya tingkat kepercayaan masyarakt terhadap kyai. Fenomena yang khas di perbatasan adalah perkawinan lintas-batas. Perbedaan kemudahan dan persyaratan administratif seringkali menyebabkan pasangan memilih melakukan pernikahan di negara tetangga.

Persoalan SDM penghulu dan keberadaan KUA di perbatasan dianggap menjadi salah satu penyebab, mengapa pelayanan pencatatan nikah kurang optimal. Keberadaan penyuluh agama dianggap masih menjadi titik kendala, namun sesungguhnya persoalan penyuluh agama tidak memiliki ciri khas yang hanya ada di perbatasan. Problem profesionalitas dan jumlah penyuluh agama juga dialami di daerah-daerah non perbatasan, termasuk di Jawa. Justru kehadiran fisik kantor pelayanan agamalah yang masih menyisakan beberapa persoalan. Pertama, tidak sedikit KUA dibangun tidak di atas tanah milik Kementerian Agama. Akibatnya operasional kantor tidak dapat dibiayai oleh APBN Kemenag. Kedua, dari aspek fasilitas beberapa KUA masih ada yang belum taraliri listrik.

selanjutnya rekomendasi penelitian

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement