REPUBLIKA.CO.ID, Sebelum Nabi Muhammad SAW datang membawa risalah Islam, praktik prostitusi merajalela di kalangan masyarakat Arab jahiliyah. Perzinahan dianggap sebagai hal yang lumrah. Banyak perempuan yang tidak mendapat penghormatan semestinya pada masa itu.
Pada periode pra-Islam, suku-suku Arab bersikap lunak terhadap praktik pelacuran. Mereka bahkan kerap memaksa gadis-gadis budak mereka untuk terjun ke dalam dunia prostitusi. Praktik semacam itu terus berlangsung hingga Rasulullah SAW hijrah ke Madinah.
Salah satu tokoh Arab yang terkenal akrab dengan praktik haram tersebut adalah Abdullah bin Ubay bin Salul atau biasa juga dipanggil Ibnu Salul. Dia merupakan salah satu pemimpin kaum munafik di Madinah semasa Nabi SAW masih hidup.
Muhammad Saed Abdul-Rahman dalam buku “Tafsir Ibn Kathir: Part 18 of The Quran (2nd Edition)” mengungkapkan, Ibnu Salul kerap mengambil keuntungan dengan cara menarik budak-budak wanitanya menjadi pelacur. Uang yang diperoleh para budak tersebut dari melacur kemudian masuk ke kantong Ibnu Salul.
Lalu turunlah ayat Alquran yang melarang para majikan memaksa budak perempuan mereka untuk melacurkan diri. “Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri menginginkan kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada budak-budak) setelah mereka dipaksa itu,” (QS an-Nur [24]:33).
Ayat di atas menjelaskan, Allah SWT hanya mengampuni budak-budak perempuan yang dipaksa melacur saja, tetapi tidak untuk para majikan yang memaksa mereka. Ketika ayat ini turun, Ibnu Salul sangat murka. Namun, ia akhirnya menyerah terhadap ketentuan Allah tersebut.
Sebelum Islam datang, status seorang wanita ditampilkan lewat caranya berbusana. Perempuan yang sudah menikah diwajibkan mengenakan jilbab. Sementara para budak dan pelacur dilarang memakai atribut tersebut.
“Pada masa jahiliyah, jilbab tidak hanya digunakan untuk mengklasifikasikan perempuan sesuai dengan status mereka, tetapi juga untuk memberi label berdasarkan aktivitas seksual dan status perkawinan mereka,” tulis akademisi AS asal Mesir, Leila Ahmed, dalam buku Women and Gender in Islam.