Jumat 22 May 2015 18:10 WIB

Isolasi dan Diskriminasi Timpa Kalangan Pemuda Muslim Australia

Islamofobia (Illustrasi)
Islamofobia (Illustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, FREEMANTLE --  Berbicara sebagai pemateri kedua, Yahya Ibrahim, pria bertubuh tambun yang bekerja sebagai wakil kepala sekolah Islam di kawasan Langdon.

"Kita harus membedakan antara fobia dan bahaya. Fobia adalah perasaan yang ditimbulkan oleh mitos, sementara bahaya adalah keadaan yang dinalar dengan akal sehat. Kita juga harus membedakan antara Islam sebagai agama dan Muslim sebagai penganut agama Islam," kata Yahya yang juga menjabat sebagai ketua perkumpulan Muslim di Universitas Western Australia (UWA) dan Universitas Curtin.

Yahya menegaskan bahwa Islamofobia telah mencampuradukkan para kriminal dengan agama Islam. Telah terjadi peringkusan terhadap orang-orang Muslim yang baru dicurigai akan melakukan tindakan penyerangan, tetapi orang-orang yang merusak masjid dan secara lantang mengajak untuk merusak fasilitas ibadah Muslim justru tidak pernah ditangkap.

Menurut dia, Perth dalam 15 tahun terakhir telah mengalami penambahan jumlah penduduk yang sangat signifikan. Akan tetapi, tidak diiringi dengan akulturasi budaya di antara penduduknya.

"Isolasi sosial dan diskriminasi yang menimpa orang-orang muda di kalangan Muslim adalah pemantik aksi radikal. Hal ini yang kerap kita lupa. Kita lupa bahwa untuk menyentuh manusia, pada esensinya ada lewat interaksi dengan mereka, terlepas dari hal-hal yang membedakan, seperti agama dan keyakinan," kata dia.

Yahya berbagi pengalamannya ketika mendapati tetangga barunya sebagai sebuah pelajaran penting. Tetangga baru yang sangat berbeda dengan Yahya akhirnya dapat membaur dengan sebuah strategi hantaran baclava buatan ibu mertua, sementara sang tetangga membalas baclava dengan bir karena belum tahu bahwa Muslim tidak mengonsumsi alkohol.

"Inilah yang perlu lebih banyak kita lakukan, menjelaskan siapa dan bagaimana Muslim itu kesehariannya," ujar pria berjanggut itu.

Seorang perempuan tua yang duduk di baris paling belakang lantas bertanya, "Bagaimana dengan mereka yang pergi dan mendukung ISIS? Bukankah mereka juga Muslim?"

Yahya menanggapi pertanyaan itu dengan menjelaskan bahwa anak muda Australia pergi ke Suriah dan bergabung ke ISIS karena mereka tidak benar-benar memahami apa yang dilakukan oleh ISIS. Relatif banyak riset yang mengemukakan bahwa mereka ternyata menyesal karena mendapati ISIS bukan seperti yang mereka bayangkan.

"Mereka melihat ISIS sebagai kesempatan bebas dari pekerjaan rumah, bebas dari diskriminasi, dan ujian-ujian di sekolah. Mereka ingin kembali ke Australia, tetapi takut akan langsung dipenjarakan oleh pemerintah. Bila mereka tidak menuruti ISIS, mereka akan dituduh sebagai orang yang munafik dan hukumannya adalah dibunuh oleh sesama anggota ISIS," ujarnya.

Seorang bapak tua di baris pertama bernama Paul menyebutkan saat ini ada 140-an perang di seluruh dunia, dan mayoritas adalah karena Islam. Namun, data ini tidak bisa diklarifikasi kebenarannya. Sekali lagi, kata dia, ini bukan soal agama Islam, melainkan soal perebutan sumber daya alam, soal ekonomi, dan memang di mana ada perang, di sana ada banyak uang yang mengalir.

"Akan tetapi, ISIS mengaku melakukan kekejian atas nama Islam. Apakah pemimpin Islam sudah membantah ini?" tanya Paul yang mengenakan baju berwarna merah.

Yahya menjelaskan bahwa banyak sudah bantahan disampaikan oleh pemuka agama Islam, tetapi memang di Islam tidak ada Paus sebagai pemimpin sehingga para pemuka kalangan Muslim menyampaikan pesan mereka secara terpisah.

"Apakah Anda tidak tahu bahwa Alqaidah saja menyebut ISIS itu bukan Islam? ISIS itu orang gila, bukan representasi Islam?" tanya Yahya dengan retoris.

Seorang perempuan di bagian tengah penonton mengatakan, "Saya tidak mau membeli daging kalau ada label halalnya. Karena sertifikasi halal itu membiayai organisasi teroris." Dengan menggebu, dia mengaku sudah sangat yakin bahwa biaya sertifikasi halal telah dipakai untuk membiayai orang melakukan teror.

Penonton lain sontak berkomentar, sebagian membandingkan dengan pungutan biaya sertifikasi juga dilakukan oleh produk-produk organik. Tuduhan ini juga pernah disampaikan oleh politikus sayap kanan Pauline Hanson, kemudian hal ini dibantah lewat investigasi jaringan berita ABC.

Si ibu tua berambut lurus itu kemudian melemparkan pertanyaan "bom" pada diskusi dengan berkata, "Kenapa orang Muslim ini tidak dipulangkan saja semua ke tempat mereka asal agar mereka perang di negeri sendiri saja?"

Seorang pria di barisan penonton langsung berdiri dan mengingatkan bahwa semua orang di Australia, kecuali Aborigin, adalah imigran. Ke mana mereka harus pulang kalau diberikan pertanyaan serupa?

"Saya pernah ditanya oleh seorang perempuan Aborigin kenapa saya tidak pulang ke negeri saya," ujar seorang perempuan paruh baya yang bekerja dengan komunitas suku asli Australia.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement