REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemimpin yang tidak menepati janji-janji kampanye akan menjadi isu utama dalam Forum Ijtima’ Ulama, Majelis Ulama Indonesia (MUI), Juni mendatang. Ada beberapa pertimbangan mengapa MUI berencana untuk memfatwakan soal janji kampanye ini.
“Ketika para calon pemimpin melakukan kampanye untuk memperoleh suara publik, mereka banyak memberikan janji-janji. Dalam kasus seperti itu, janji seringkali hanya sebatas komitmen yang tidak ditepati," ujar Ketua Komisi Fatwa MUI, Prof. Dr. Hasanuddin A.F. saat menjelaskan isu-isu utama Forum Ijtima' Ulama di Gedung MUI Pusat, Kamis (21/5).
Ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan MUI untuk memfatwakan isu ini. Pertama, dalam perspektif hukum Islam, janji itu termasuk hutang. Ketika dipersamakan dengan hutang, konsekuensinya, seseorang yang berhutang dituntut untuk melunasi.
Jika seseorang tidak menunaikan hutang tersebut, ia akan dituntut. Kewajiban itu baru gugur sampai yang bersangkutan melunasi hutang tersebut, atau yang memiliki piutang mengikhlaskannya. Tidak hanya itu, hutang tersebut tidak gugur sekalipun si empunya hutang telah meninggal.
Selain itu, komitmen terhadap janji adalah salah satu indikator keimanan seseorang. Salah satu tanda orang munafik adalah ingkar terhadap janji-janjinya serta menciderai apa yang telah dipercayakan kepadanya.
Akibatnya, muncul masalah, bagaimana jika hutang tersebut berupa janji politik. Bagaimana cara menagihnya, apa dampaknya ketika tidak ditepati, dan adakah mekanisme bagi masyarakat untuk memaksa merealisasikannya, dan bagaimana implikasi ketaatan terhadapnya.
"Sampai sekarang, tidak ada mekanisme formal untuk menagih janji-janji ini, baik dari sisi hukum normatif maupun dari sisi penegakannya. Dalam forum ijtima' ulama bulan depan, MUI bermaksud untuk memperjelas hukum janji-janji kampanye ini," ujar Hasanuddin.