Senin 13 Apr 2015 15:49 WIB

PII: Miras Merusak Akhlak

Rep: c71/ Red: Agung Sasongko
Tokoh masyarakat melemparkan miras saat pemusnahan ribuan liter minuman keras.
Foto: Antara
Tokoh masyarakat melemparkan miras saat pemusnahan ribuan liter minuman keras.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penerapan kebijakan pemerintah untuk membatasi peredaran minuman keras (miras) di masyarakat mendapat apresiasi. Pelajar Islam Indonesia (PII) mendukung upaya tersebut karena beranggapan miras tidak sesuai dengan jati diri bangsa.

Pemerintah melalui Menteri Perdagangan Rahmat Gobel telah mengeluarkan Permendag Nomor 6/M-DAG/PER/1/2015 yang melarang penjualan minuman beralkohol di mini market.  "Kami sangat senang dan mendukung adanya pembatasan terhadap minuman keras ini," ujar Ketua Umum Pelajar Islam Indonesia Randi Muchariman ketika dihubungi ROL, Senin (13/4).

Menurut Randi, masyarakat Indonesia khususnya generasi muda bisa lebih terjaga dari bahaya mengonsumsi miras.

Randi menyatakan, miras berbahaya bagi kesehatan dan memiliki efek candu yang lantas berpengaruh secara ekonomi. Kemudian, kata Randi, miras berpengaruh pada mental masyarakat. "Apalagi umat Islam meyakini itu (miras) barang yang haram," ujar Randi.

Randi menyatakan, hal-hal haram yang terus masuk ke tubuh akan merusak akhlak. Dari sana, potensi kriminalitas pun bisa meningkat.  "Minuman keras merusak jati diri bangsa karena Indonesia adalah negara yang memegang nilai-nilai agama," ujar Randi.

Randi mengatakan, pemerintah memang belum bisa melarang sepenuhnya peredaran miras. Menurutnya memang sulit untuk melarang miras secara keseluruhan. Namun, ia tetap mengapresiasi. Menurutnya, hal ini lebih baik daripada tidak sama sekali. "Saya anggap ini sebuah kemajuan dalam membatasi peredaran miras," ujar Randi.  

Untuk persoalan miras, ia mengaku pihaknya sudah sering melakukan edukasi ke sejumlah toko yang masih menjual miras. Selain itu, ada upaya kerjasama dengan Kementerian Kesehatan untuk menyampaikan edukasi pola hidup sehat.

Randi berharap pengawasan dan penegakan bisa terus dilakukan pemerintah. Menurut Randi, kebijakan yang sebenarnya sudah baik tidak bisa menjadi apa-apa jika tidak diikuti pengawasan dan penegakan. "Jangan sampai aturan hanya sebatas aturan," ujar Randi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement