REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) As’ad Said Ali menerangkan, di Afghanistan, kelompok radikal seperti ISIS dan Al Qaeda mengenal berbagai pengetahuan militer dari para pelatih profesional militer. Mereka juga memperoleh metode mendatangkan atau menyelundupkan senjata, dan sekaligus merasakan perang di medan tempur.
Bersamaan itu pula, kelompok radikal memperoleh indoktrinasi intensif tentang jihad dan politik untuk menghadapi hegemoni AS/Barat dengan tema sentral pembebasan Masjidil Aqsa dan minoritas muslim di berbagai negara.
“Indoktrinasi demikan diberikan oleh ulama-ulama radikal seperti Adullah Azzam, tokoh Ihwanul Muslimin dari Palestina. Ketika perang selesai mereka menyebar ke berbagai penjuru dunia, sehingga terbentuk jaringan kaum jihadis global yang sudah matang dalam taktik militer dan militansi ideolog,” jelasnya.
Penulis buku Negara Pancasila ini menerangkan, bagi negara-negara Barat, Al Qaeda hanyalah masalah keamanan dalam artian fisik. Tapi tidak demikian bagi negara-negara berpenduduk Muslim seperti Indonesia.
Selain problem keamanan, muncul problem lainnya, misalnya gangguan terhadap toleransi, konflik sosial, maraknya ideologi radikal, perlawanan terhadap ideologi negara, dan lain-lain.
“Masalahnya menjadi rumit manakala para aktivis demokrasi dan HAM memperjuangkan kebebasan ala Barat di tengah kelompok-kelompok radikal antidemokrasi tersebut. Jadilah Indonesia tempat yang cukup nyaman bagi kaum radikal. Namun sekaligus menempatkan mayoritas masyarakat yang moderat pada posisi sulit, karena harus menghadapi kaum radikal dan sekaligus hantaman ideologi Barat,” tutur As’ad.
Menurutnya, karena negara tidak memiliki dan didukung hukum yang memadai terhadap situasi baru tersebut, maka, mungkin inilah yang menyebabkan pada banyak kasus, negara tidak hadir di setiap konflik.