REPUBLIKA.CO.ID, Hari sebentar lagi sore. Matahari sedang merayap di ufuk Barat. Langit merona kemerah-merahan. Kelepak bangau terdengar dari sawah yang terhampar luas. Para santri Hidayatullah Parigi Motong, Sulawesi Tengah sedang bersiap ke masjid menuaikan shalat maghrib. Tiba-tiba, dari ujung jalan tampak dua orang datang tergopoh-gopoh.
Seorang ibu dengan nafas agak tersengal menarik tangan anaknya sambil berkata: “Ayooo, ikut ibu. Jalan!” Sang anak yang berkulit putih, berbadan besar dan tinggi itu berontak. “Ngg….ngak! Annn…..Andika nggak mau,” teriaknya dengan agak terbata. Andika mengerung. Mulutnya meracau tak jelas. Ditariknya tangannya dari cengkeraman ibunya. Sayang, tangan perempuan tua itu lebih kuat. Bocah usia 10 tahun itu hanya bisa pasrah sambil terus menggerung.
Santri-santri yang melihat adegan itu tertegun. Kenapa ibu tersebut menarik-narik paksa tangan anaknya, seperti film kartun Tom and Jerry. Mereka berbisik sambil berjalan menuju masjid: “Jangan-jangan itu calon santri baru. Calon penghuni mahad.” Bahari Anshori Kholil melihatnya dari teras masjid dengan mata berkaca-kaca. Pandangannya tak lepas dari sosok bocah yang ditarik paksa ibunya.
“Tolong ustadz. Saya harap anak saya, Andika ini, diterima di pesantren,” harapnya memelas.
“Memang kenapa dengan putra ibu,” jawab Bahari, pimpinan pesantren.
“Saya bingung, ustadz. Saya putus asa. Tidak ada lagi sekolah yang mau menerimannya. Sekolah Luar Biasa (SLB) alternatif terakhir juga mengeluarkannya karena tak kuat mendidik anak saya,” jawabnya dengan air mata yang mulai meleleh.
Suara ibu itu mulai sesunggukan. Bahari masih terdiam. Bingung. Apa sebenarnya yang terjadi dengan bocah malang tersebut. Dipandanginya bocah yang berdiri di samping ibunya itu dengan tatapan iba. Kepala bocah itu berputar-putar. Biji matanya yang bulat dan hitam seperti buah leci berputar-putar. Mulutnya kembali mendesis. Dia kembali berontak.
“Saya mohon Andika diterima ustadz. Pesantren ini harapan terakhir kami. Tak ada lagi tempat yang lain,” harapnya sambil mengusap-usap kepala anaknya yang berambut ikal hitam dan lebat itu. Andika melihat wajah ibunya yang terisak. Biji bola matanya masih berputar-putar. Bingung.
“Memang kenapa anak ibu ditolak di sekolah lain?” selidik Bahari.
“Anak saya hiperaktif dan sangat nakal, ustadz. Selain itu dia juga punya penyakit ayan,” jawabnya.
Bahari kembali memandangi bocah malang itu. Rasa kasihan bergemuruh di jiwa. Tanpa pertimbangan panjang dia pun langsung mengabulkan.
“Baiklah, bu. Mulai sore ini Andika resmi jadi santri di mahad ini,” tuturnya tanpa ragu.
“Benar, ustadz?! Benar Andika diterima di pesantren ini?” tannyanya seolah tak percaya.
Bahari mengganggukkan kepala seraya berkata: “Ya.”
“Terimakasih ustadz. Sekali lagi terimakasih.”
Air mata ibu itu kian deras mengalir.
Para santri kembali berbisik: “Tuh, kan. Apa kataku tadi. Itu santri baru. Ustadz Bahari menerimanya.”
Baru di hari pertama, Andika telah memberi kejutan luar biasa. Tanpa sebab dan alasan, teman-temannya dipukulin. Dia juga suka meludahi mereka. Tidak hanya itu, Andika juga sering berkata kotor. Bukan hanya kepada santri, gurunya di SD juga jadi sasaran. Gurunya dipukuli dan diludahi. Tak pelak, hanya dalam tempo tiga hari, hampir seluruh seisi pesantren tak kuat. Mereka sepakat agar Andika dipulangkan. Tak ada yang betah dan mau berteman dengan Andika.
Namun, lelaki asal Sambas, Kalimantan Barat ini dengan tegas menolak.
“Tidak! Saya tidak sepakat jika Andika dikeluarkan dari pesantren. Tugas kita mendidik, bukan hanya mengajar. Urusan hidayah itu hak Allah. Yang penting kita berusaha,” katanya tegas.
Mendengar itu, seluruh guru dan santri tidak ada yang berani menolak. Andika masih dipertahankan tinggal di pesantren. Karena sulit, suami dari Istifadah, wanita asal Kediri Jawa Timur yang dinikahi tahun 2000 silam di Hidayatullah Gunung Tembak dalam pernikahan barakah 47 pasang ini harus terjun langsung menangani Andika.
Setiap kali Andika berkata jorok, Bahari langsung memberinya cabe. Cabe itu harus dikunyah sampai kepedasan dan tobat. Jika bocah kelas 5 SD ini memukul dan meludai guru dan temannya, Bahari membawanya ke pematang sawah. Bahari yang pandai bela diri Tifan Pohan ini memberi pelajaran khusus: berendam. Andika harus berendam di kubangan lumpur sawah. Manjur, dalam tempo tiga bulan, Andika mengalami perubahan drastis. Dia tidak lagi menjahili santri yang lain. Dia juga tidak berkata jorok lagi. Psikologi Andika juga relatif normal.
Yang lebih membahagiakan lagi, dia sudah bisa berwudhu dan shalat. Hal yang tidak pernah dilakukannya sebelumnya. Selain itu, Andika juga bisa membaca al Quran meski masih terbata-bata. Orangtua dan keluarga Andika sangat senang degan perubahan yang dialami sang buah hati tercintanya itu. Mereka tak henti-hentinya berterimakasih.
Salah satu orang yang paling berbahagia adalah kakeknya Andika. Dia adalah orang terkaya di Ongka Malino. Kakeknya dulu paling sinis pada pesantren. Setiap kali Bahari silaturahim ke rumahnya, dia selalu memalingkan muka. Bahkan tak jarang berkata sinis. Namun, setelah tahu cucu tercintanya itu sembuh, dia berbalik suka dan mendukung pesantren. Setiap Bahari berkunjung, senyumnya selalu merekah. Pesantren kini selalu dibantu. Apapun kekurangannya, jika kakek tersebut mampu, pasti dibantu.
“Subhanallah. Allah selalu punya cara unik dalam memberi hidayah pada hamba-Nya,” tutur ayah tujuh anak ini.
Bahari yakin, kesembuhan Andika bukan karena usahanya. Melainkan berkat keikhlasan dan kesabaran para guru yang membimbingnya. Merekalah yang senantiasa berdoa bagi kebaikan Andika.