Rabu 20 Aug 2014 20:58 WIB

Luluhnya Hati Pendosa (1)

Tobat nasuha titik balik perbaikan hamba.
Foto: Thedailystar.net
Tobat nasuha titik balik perbaikan hamba.

Oleh: Nashih Nashrullah      

Di kalangan para sufi, nama Ibrahim bin Adham tidaklah asing. Pemilik nama lengkap Ibrahim bin Adham bin Manshur al-Ijli ini dikenal dengan kedalaman intuisi dan ilmu hikmah yang ia miliki. Kelebihan ini menempatkannya sebagai sosok yang disegani dan karismatik.

Lahir dan tumbuh dari keluarga bangsawan tak membuat sosok kelahiran Balkh ini dibutakan oleh harta. Justru, gemerlap dunia membuat hatinya kian dekat dengan Allah SWT. Ia pun memutuskan untuk meninggalkan dunia dan berolah spiritual, lalu berbagi hikmah kepada sesama.

Sebuah kisah menarik dinukilkan oleh Ibnu Qudamah al-Maqdisi dalam At-Tawwabin. Kisah tersebut menceritakan pertemuan tokoh yang lahir pada 100 H/718 M tersebut dengan seorang pendosa yang bernama Jahdar bin Rabiah. Seperti biasanya, Ibrahim bin Adham kerap didatangi oleh beragam orang dengan berbagai latar belakang.

Dan ketika itu, Jahdar dalam kondisi keterpurukan spiritual Jahdar pun memutuskan meminta petuah bijak kepada tokoh yang juga akrab disapa dengan panggilan Abu Ishaq al-Balkhi itu.

Jahdar pun berkisah ihwal kondisinya. Ia berujar ingin berhenti dari segala maksiat yang ia lakukan selama ini. “Tolong berikan aku cara yang ampuh untuk menghentikannya,” pintanya kepada Abu Ishaq.

Tak langsung mengiyakan, Ibrahim merenung sejenak. Ia meminta petunjuk Allah. Ia pun lantas mengabulkan permohonan Jahdar. Akan tetapi, solusi-solusi yang akan ia berikan penuh syarat, Jahdar tidak boleh menolak. Jahdar pun akhirnya menerima dengan senang hati. “Apa saja syarat-syarat itu?” katanya.  

Abu Ishaq mulai memaparkan, syarat yang pertama ialah jika hendak bermaksiat, janganlah sesekali memakan rezeki-Nya. Bagi Jahdar, syarat ini mustahil. Bagaimana mungkin bisa terpenuhi, sementara segala sesuatu yang berada di bumi ini adalah anugerah-Nya.” Lalu, aku makan dari mana?” kilah Jahdar.

“Tentu saja,” kata Ibrahim. “Jika tetap berbuat maksiat, pantaskah seseorang memakan rezeki-Nya?” Jahdar pun menyerah. “Syarat itu sangat masuk akal dan mengena di hatinya.” “Baiklah, apa syarat berikutnya?” katanya.    

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement