Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar
Puasa ahli tarekat betul-betul mensterilkan diri dari sentuhan segala sesuatu yang bersifat syubhat apalagi haram. Membebaskan nafsu dari syahwat dan membersihkan amal ibadah dari kecenderungan riya, dan menghindarkan diri dari berbagai ujub dan pujian.
Puasa yang demikian ini diharapkan bukan hanya mengantarkan orang untuk menggapai ketakwaan seperti janji Allah SWT: La’allakum tattaqun (QS al-Baqarah[2]:183), tetapi juga menemui Allah (liqa’ Allah) sebagaimana disebutkan di dalam Alquran surah al-Kahfi ayat 110.
Sesuatu yang paling ditakuti ahli tarekat ialah perbuatan syirik di dalam ibadah. Bagi mereka, syirik dalam ibadah ialah adanya unsur riya di dalam setiap ibadah yang dilakukan. Perwujudan riya di dalam diri mulai dari yang paling halus sampai terang-terangan.
Mungkin seseorang dapat mendeteksi syirik dalam bentuk kasar seperti menyembah berhala, tetapi sulit mendeteksi syirik dalam bentuk amat halus, yang digambarkan Rasulullah SAW dalam hadisnya: Dabibus syirku fi ummati akhfa min dabibun namlatus sauda’ ‘alas shakhratis shama’ fil lailatid dhuluma’i (Syirik itu merayap di dalam diri umatku lebih halus daripada rayapan semut hitam di atas batu hitam di tengah kegelapan malam).
Bagi ulama kebanyakan mengartikan syirik di sini dengan riya, meskipun menurut ulama ahli hakikat (ahlul haqiqah) syirik dimaknai dengan: Ru’yah al-gair ma’a wujudil haqqi ta’ala (menyaksikan sesuatu selain wujud Allah SWT).
Riya adalah senjata ampuh setan di dalam menghancurkan potensi dan kekuatan manusia dan syirik merupakan wujud kehancuran manusia di mata Tuhan. Karena itu, Ali bin Abi Thalib mengingatkan bahwa riya paling dekat dengan syirik (Inna adnar riya’ al-syirk).