Selasa 10 Jun 2014 13:48 WIB

Thaharah Perspektif Fikih: Tarekat, Hakikat, dan Neurologi (2)

Seorang Muslim harus berwudhu sebelum menunaikan ibadah shalat. Selain mensucikan dan membersihkan ketika hendak melakukan shalat, wudhu bagi umat Islam juga untuk menjaga kesehatan melalui kebersihan secara lahir yang dilakukan paling tidak lima kali seha
Foto: Republika/Yasin Habibi
Seorang Muslim harus berwudhu sebelum menunaikan ibadah shalat. Selain mensucikan dan membersihkan ketika hendak melakukan shalat, wudhu bagi umat Islam juga untuk menjaga kesehatan melalui kebersihan secara lahir yang dilakukan paling tidak lima kali seha

Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar

Dalam konsep thaharah sering kali Allah SWT lebih menjelaskannya secara detail ketimbang hal-hal yang bersifat fardhu.

Misalnya, konsep shalat dan haji sebagai bagian dari rukun Islam hanya diperintahkan secara global, seperti dalam surah al-Baqarah ayat 43 Aqim al-shalah (Dirikanlah  shalat).

Petunjuknya secara detail hanya ditemukan di dalam hadis Shallu kama raitu muni ushalli  (Shalatlah sebagaimana engkau melihat aku shalat).

Sedangkan konsep thaharah, misalnya wudhu, dijelaskan secara mendetail di dalam Alquran sebagaimana ayat di atas. Dari segi ini wajar jika muncul berbagai pandangan ulama tentang thaharah mulai perdebatan panjang tentang kualitas dan kuantitas air dan debu sebagai alat penyuci sampai pada objek-objek anggota badan yang harus dibasuh.

Kalangan ulama fikih lebih menekankkan aspek legal-formalistik ajaran karena itu fikih sangat concern terhadap rukun dan syarat. Termasuk, secara detail membedakan syarat wajib dan syarat sah sebuah ajarah (khithab). Konsep tarekat lebih menekankan hikmah di balik ajaran.

Ajaran secara fiqhiyyah sudah dianggap seharusnya dilaksanakan, namun tidak cukup hanya dengan itu. Tarekat menuntut kepuasan fiqhiyyah dan sekaligus kepuasan batin. Karena itu, pengamalan lahiriyah dan  pengamalan batiniyah mesti paralel.

Konsep hakikat lebih sempurna dan lebih khusus lagi karena segalanya dihubungkan dengan Tuhan. Tidak cukup hanya dengan kepuasan syar’iyyah dan  tashawwufiyyah, tetapi dengan kepuasan ilahiah (divine satisfaction). Sedangkan, konsep neurologi lebih menekankan efek neurologis dan psikologis terhadap hikmah thaharah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement