Senin 02 Jun 2014 07:58 WIB

Belajar dari Suasana Batin: Ketika Mencapai Maqam Puncak (2-habis)

Riyadhah berarti tidak meninggalkan shalat dan zikir.
Foto: Republika/Yasin Habibi/c
Riyadhah berarti tidak meninggalkan shalat dan zikir.

Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar

Ketika seseorang merangkak naik meninggalkan posisi semula, lalu melakukan mujahadah dan riyadhah maka akan terjadi perubahan mendasar dalam dirinya.

Perubahan itu tak hanya dilihat dan dirasakan oleh dirinya sendiri, tapi juga orang lain. Terutama, keluarga dan orang-orang terdekatnya.

Biasanya orang yang sudah memasuki anak tangga salik merasakan ketergantungan atau ketagihan. Seolah perjalanan hidupnya selama ini kosong tanpa makna. Ia baru merasakan makna hidup yang sesungguhnya.

Itulah sebabnya muncul fenomena melakukan uzlah dan pengembaraan dari masjid ke masjid, dari suatu daerah ke daerah lain, bahkan dari satu negara ke negara lain.

Mereka meninggalkan keluarga, mengenyampingkan pekerjaan rutinnya di kantor, dan mengganti sahabat lama dengan sahabat spiritual baru. Akan tetapi, tidak sedikit pula orang yang kecewa di dalam pencariannya.

Apa yang diharapkan dan diimajinasikan di dalam perjalanan spiritualnya berbeda dengan kenyataan hidup yang dialaminya. Akibatnya, mereka kembali ke dunia lamanya, mungkin jauh lebih mundur lagi.

Kedua kutub ekstrem ini disebabkan kurangnya pengenalan teoretis tentang dunia sufi dan tasawuf. Mereka langsung mempratikkan tanpa pernah memperoleh pengenalan dari dari guru spiritual yang berpengalaman.

Fenemona kehidupan spiritual pada masa depan cenderung semakin menyempal. Ini disebabkan oleh semakin luasnya potensi kekecewaan batin di dalam lingkungan kehidupan modern dan bermunculannya kelompok-kelompok pengajian plus.

Seolah-olah masa depan itu datang lebih cepat melampaui kecepatan umat mempersiapkan diri. Akibatnya, multiple shock sedang melanda umat kita.

Bukan hanya cultural  shock, seperti yang pernah dibayangkan Alfin Toffler dalam karya monumentalnya, The Future Shock. Tidak saja terjadi di dalam umat Islam, tetapi juga umat-umat agama lain.

Seolah-olah beberapa institusi dan pranata formal keagamaan yang sekian lama hidup di masyarakat  dirasakan pemeluknya sudah termakan usia.

Dengan demikian, terjadi jarak antara ajaran agama dan kecenderungan isi hati serta jalan pikiran pemeluknya. Fenomena seperti ini berpotensi melahirkan sejumlah kekecewaan.

Yang perlu dicermati, jangan sampai kekecewaan itu ditempiaskan ke dalam bentuk kegiatan-kegiatan radikal, yang seolah-olah akan berusaha membendung arus zaman. Maraknya terorisme dan kegiatan-kegiatan anarkisme yang bertema agama di sekeliling kita boleh jadi bagian inheren dari kekecewaan masif tadi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement