Ahad 11 May 2014 22:28 WIB

Wakaf Uang dan Islamic Microfinance di Turki dan Pakistan (1)

Islamic microfinance (ilustrasi).
Foto: Ebctv.net
Islamic microfinance (ilustrasi).

Oleh: Dr Hendri Tanjung*

Persoalan yang sering dilontarkan masyarakat adalah persoalan menyangkut keberpihakan lembaga keuangan syariah terhadap ekonomi rakyat kecil.

Ketika dihadapkan pada dua proyek, pertama, membangun rumah susun dengan return yang rendah, kedua, membangun apartemen dengan return yang tinggi, maka lembaga keuangan syariah, biasanya akan memilih untuk membangun apartemen dengan return yang tinggi.

Mengapa demikian? Alasannya adalah keuntungannya lebih besar. Pertanyaan berikutnya, mengapa lebih memilih keuntungan yang lebih besar meskipun kemaslahatannya lebih kecil? Rumah susun, jelas untuk rakyat kecil, sementara apartemen jelas untuk orang kaya.

Kenapa lembaga keuangan syariah tidak berpihak pada pemenuhan hajat rakyat kecil? Menjawab pertanyaan ini, maka jawaban yang umumnya diterima adalah karena pemegang saham ingin keuntungan yang kalau bisa, lebih besar dari tahun sebelumnya, ataupun, kalau tidak bisa lebih besar, minimal sama.

Mengapa pemegang saham ingin keuntungan yang meningkat? Karena mereka ingin uangnya berkembang. Adakah pemegang saham yang rela uangnya tetap atau bahkan kurang? Jawabannya, hampir tidak ada.

Kalau begitu, apakah mungkin mengindahkan keinginan pemegang saham? Jawabnya hampir tidak mungkin. Kalau begitu, apa solusi yang dapat dilakukan agar lembaga keuangan syariah lebih berpihak pada masyarakat kecil? Jawabannya, mencari dana murah.

Apakah ada dana murah? Ada, wakaf uang. Inilah urgensi wakaf uang dalam menguatkan ekonomi masyarakat kecil.

Wakaf uang di Turki

Prinsip umum dalam wakaf adalah tidak berkurangnya nilai wakaf itu sendiri dan sifatnya yang abadi. Sehingga yang paling sering digunakan orang sebagai wakaf adalah tanah, dan bangunan.

Namun, menurut ulama mazhab Hanafi, ada tiga hal yang dapat dikecualikan dari prinsip umum tersebut, yaitu: pertama, sumbangan aset bergerak yang dimiliki oleh aset yang tidak bergerak, seperti lembu atau kambing dari sebuah kebun/lahan, diizinkan sebagai harta wakaf.

Kedua, jika ada hadis yang terkait; dan ketiga, jika sumbangan aset yang bergerak itu merupakan kebiasaan yang umum di suatu daerah.

*Alumnus IPB dan Sekretaris Magister Ekonomi Islam UIKA Bogor

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement