Sabtu 05 Apr 2014 09:42 WIB

LAZ Harus Buat Program Produktif

al azhar peduli umat (apu) gelar tiga gemilang bagi 255 kelas tiga sma/smk/ma dhuafa
Foto: dok. al azhar peduli umat
al azhar peduli umat (apu) gelar tiga gemilang bagi 255 kelas tiga sma/smk/ma dhuafa

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Fuji Pratiwi

Kepercayaan terhadap lembaga zakat semakin meningkat.

JAKARTA – Kegiatan produktif, dalam bentuk pinjaman modal dan pemberdayaan ekonomi, yang berasal dari dana zakat bermanfaat jangka panjang bagi dhuafa. Hal ini ditegaskan General Manager Al-Azhar Peduli Ummat Agus Nafi dan pakar filantropi Amelia fauzia.

Menurut Agus, melalui dana zakat, Al-Azhar Peduli Ummat membangun keluarga berdaya. Para keluarga dhuafa memperoleh dana dan pendampingan untuk menjalankan usaha. Bisa dalam bidang peternakan, pertanian, maupun perdagangan.

Setiap keluarga memperoleh bantuan dari dana zakat sebesar Rp 1 juta hingga Rp 5 juta. Selain itu, lembaga zakat ini juga membina kemandirian pesantren. ‘’Dengan usaha ekonomi, pesantren mampu memenuhi sendiri dana operasional,’’ kata Agus, Jumat (4/4).

Aktivitas ekonomi disesuaikan dengan potensi alam di setiap pesantren. Misalnya, ada yang membudidayakan jamur tiram atau kentang. Ia menuturkan, Pesantren Riyadhul Jannah, di Bogor, Jawa Barat membangun usaha jamur tiram.

Dalam dua tahun pendampingan, hasilnya memuaskan. Semula, mereka baru mampu menghasilkan 50 kg jamur per hari. Sekarang menembus 70 kg hingga 100 kg per hari. Mereka tak lagi kesulitan untuk memenuhi seluruh kebutuhan pesantren.

Bahkan, keberhasilan mereka ditularkan kepada masyarakat di sekitarnya. Pengurus pesantren, sekarang membina warga membudidayakan jamur tiram. ‘’Jadi, penggunaan dana zakat ini dampaknya sangat luas,’’ kata Agus.

Ada sepuluh pesantren yang menjadi percontohan proyek yang berlangsung sejak 2007 itu. Kini, Al-Azhar Peduli Ummat juga merintis desa gemilang. Konsepnya lebih menyeluruh. Jadi tak hanya ekonomi yang menjadi perhatian tetapi juga kesehatan dan infrastruktur.

Agus memandang penting penguatan ekonomi para dhuafa ini. Tak heran jika Al-Azhar Peduli Ummat menetapkan porsi besar bagi program-program itu. Besarnya sudah sampai 50 persen dari dana zakat yang terhimpun.

Amelia Fauzia berpandangan dana zakat yang diberikan kepada dhuafa memang harus produktif. Ia mencontohkan alokasi zakat melalui baitul maal wa tamwil (BMT) dalam bentuk pinjaman ke dhuafa. ‘’Ini sangat memberdayakan mereka,’’ katanya.

Sebab,  mereka lebih terikat karena harus mengembalikan daripada pemberian langsung berupa uang. Tak hanya itu, lembaga amil zakat (LAZ) juga mesti melengkapinya dengan pelatihan dan pendampingan untuk para dhuafa itu.

Contoh lainnya,  ujar Amelia, adalah tabungan kesehatan masyarakat (bungkesmas) yang digulirkan sebuah LAZ. Tabungan ini diberikan kepada pedagang kecil. Terutama mereka yang ingin menabung sambil mencicil asuransi kesehatan.

Ia mengatakan, pedagang yang jatuh sakit biasanya akan menghabiskan modalnya untuk berobat. ‘’Melalui bungkesmas, mereka bisa dibantu dari dana zakat.’’

Nasabah dhuafa yang akan ikut juga diseleksi meski kriteria setiap LAZ berbeda-beda. Amelia memandang bantuan dalam bentuk ini, lebih terstruktur dan terukur.

Lebih baik

Amelia juga bersyukur, kepercayaan masyarakat terhadap LAZ semakin baik.  Pada 2004, ia meneliti tentang kegiatan berderma yang melibatkan 1.500 responden. Potensi donasi kala itu mencapai Rp 19,3 triliun.

Melalui penelitian itu terungkap, hanya lima persen responden yang menyalurkan zakatnya melalui LAZ. Tapi sekarang, kata Amelia,  kondisinya membaik. Lebih banyak orang yang menyerahkan zakatnya ke lembaga.

Namun Amelia juga mengakui masih tetap ada Muslim yang memberikan zakatnya langsung ke dhuafa. ‘’Bukannya tidak boleh, tapi akan lebih terukur jika donasi diberikan melalui LAZ,'' kata dia. Apalagi jumlah lembaga zakat sudah semakin banyak.

Manajemen dan program mereka pun sudah bagus. Dorongan pemerintah tetap diperlukan dengan memberi edukasi dan kebebasan masyarakat untuk berdonasi ke lembaga yang dianggap nyaman dan terpercaya.

Kalau dipaksa zakat ke satu lembaga, masyarakat akan kembali ke cara tradisonal. Zakat itu soal kepercayaan, kenyamanan dan asas manfaat. ‘’Selain itu, LAZ juga perlu diedukasi agar jadi lembaga yang tranparan dan akuntabel,’’ kata Amelia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement