REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Rosita Budi Suryaningsih
Islam memberi jawaban atas semua pertanyaan.
Tak ada hambatan berarti bagi Ida Ayu Nari Swari saat memutuskan untuk masuk Islam. Semuanya mengalir dengan lancar.
Tidak ada kesulitan dalam menjalankan ibadah atau belajar hal lainnya. “Teman-teman juga sangat mendukung,” katanya.
Ini yang menurutnya membedakan dirinya dengan sebagian mualaf di Tanah Air yang masuk Islam akibat pernikahan. Tanpa menguasai dan memahami ajaran Islam terlebih dulu.
Kepada Republika, Ida begitu sapaan akrabnya, mengawali kisah pertemuannya dengan Islam. Ia mengaku bersyukur tinggal di Indonesia. Khususnya di Pulau Jawa. Ia mengenal berbagai perbedaan suku dan agama.
Ia pun menemukan keragaman tersebut di dalam keluarganya. Ayahnya dari Bali beragama Hindu, ibunya dari suku Jawa, ada tantenya yang berasal dari Makassar, ada pula yang dari Dayak. Semua agama ada dalam keluarga besarnya.
Ia sendiri dilahirkan dan besar di bawah ajaran Hindu, lantaran ayahnya penganut Hindu dan bergelar Ida Bagus. Sebuah gelar bangsawan bergengsi di Bali. Ia dan saudara perempuannya juga diberikan gelar Ida Ayu agar meneruskan generasi kehormatan ini.
Di kota kelahirannya, Tulungagung, ia bersekolah di Santa Maria. Ketika pindah ke Surabaya, orang tuanya menyekolahkannya di lembaga yang sama.
Lingkungan sekolah dan tempat tinggal inilah yang membuat matanya terbuka pada masalah keragaman kepercayaan.
Bagaimana bergaul dengan orang yang agamanya berbeda, bertoleransi, dan tidak menyinggung salah satu ajaran agama. Di sekolah ini, Ida Ayu kembali dihadapkan dengan keragaman agama warga Kota Pahlawan itu.
Ternyata bukan hanya siswa kristen yang bersekolah di sini meski memang ada pelajaran Kristen yang menjadi kewajiban para siswanya untuk dipelajari, paling tidak untuk menghafal doa-doa kristen.
“Sahabat-sahabat terdekat saya di sekolah ini adalah Muslim,” ungkap Ida Ayu pada Republika, Selasa (4/3). Lantaran memiliki teman-teman Muslim, membuat Ida akrab dengan kebiasaan-kebiasaan ibadah Islam.
Misalnya, ketika sedang belajar bersama, temannya menyempatkan diri untuk shalat, juga menjalankan sebulan penuh puasa seharian. “Jadi saya tahu kebiasaan mereka sampai sore hari,” katanya.
Kebiasaan ini yang lambat laun membuatnya tertarik. Namun, ia belum memberanikan diri untuk langsung mengubah kepercayaan yang ia anut selama ini.