Jumat 14 Mar 2014 06:02 WIB

Bolehkah Wanita Jadi Wakil Rakyat? (Bagian-1)

 Anggota parlemen Nurcan Dalbudak (berdiri) dan Sevde Beyazit Kacar (duduk) menghadiri sidang umum Parlemen Turki mengenakan jilbab mereka di Ankara, Kamis (31/10).     (Reuters / Umit Bektas)
Anggota parlemen Nurcan Dalbudak (berdiri) dan Sevde Beyazit Kacar (duduk) menghadiri sidang umum Parlemen Turki mengenakan jilbab mereka di Ankara, Kamis (31/10). (Reuters / Umit Bektas)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Hafidz Muftisany

Wanita adalah makhluk mukalaf seperti laki-laki.

Satu bulan lagi Indonesia akan menggelar hajat besar Pemilihan Umum 2014. Hiruk pikuk pemilu semakin terdengar nyaring. Warga negara yang merasa memiliki kemampuan, berjuang untuk masuk ke parlemen.

Ramai-ramai gambar calon legislatif bertebaran di jalan, tembok-tembok, hingga pepohonan. Tak sedikit wajah yang terpampang merebut simpati rakyat adalah perempuan. Lalu, bolehkan seorang perempuan masuk ke parlemen menjadi wakil rakyat?

Banyak perdebatan para ulama tentang bab ini. Lembaga Fatwa Mesir Dal al-Ifta menyebut, kaum wanita diperbolehkan menjalankan seluruh hak sipil selama tidak bertentangan dengan sifat alamiah seorang perempuan. Di antara hak tersebut adalah mengambil dan memberikan pendapat di parlemen.

Dar al-Ifta Mesir mengambil dasar keumuman dari Alquran surah at-Taubah ayat 71. "Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka adalah penolong bagi yang lain. Mereka menyuruh yang makruf dan mencegah yang munkar."

Memberikan pendapat di parlemen, ujar Dar al-Ifta, adalah salah satu bentuk nasihat yang masuk dalam ruang lingkup amar makruf nahi munkar.

Konsep kesetaraan dalam hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan dalam ruang publik dihimpun dalam satu kaidah tersendiri, An-Nisa u Syaqa'iq ar-Rijal, kaum perempuan adalah saudara kandung kaum laki-laki.

Dar al-Ifta menambahkan, pelarangan wanita memberikan suara berarti memerintahkan mereka untuk menyembunyikan ilmu. Jika ada yang beranggapan untuk menyampaikan pendapat, seorang perempuan mestilah memiliki banyak ilmu.

Kita bisa berkaca pada Ummul Mukminin Aisyah RA dan madrasah fikihnya. Begitu juga dengan anak perempuan Said bin Musayyib, Karimah, yang banyak meriwayatkan hadis Bukhari.

Ketua Persatuan Ulama Dunia Syekh Yusuf Qaradhawi membahas masalah ini panjang lebar dalam Hadyul Islam Fatawi Mu'ashirah.

Syekh Qaradhawi menilai, tak mengapa seorang wanita terjun ke parlemen. Wanita adalah makhluk mukalaf, seperti halnya laki-laki.

Menurut Syekh Qaradhawi, “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu ...” di surah al-Ahzab ayat 33 hanya berlaku untuk istri-istri nabi. Karena mereka memiliki aturan dan beban yang lebih berat dibanding wanita pada umumnya.

Ummul Mukminin Aisyah RA, ujar Syekh Qaradhawi, meskipun ada ayat tersebut tetap keluar dan turut serta dalam Perang Jamal.

Kemudiaan, saat ini tak dapat dimungkiri wanita sudah biasa keluar dari rumahnya. Ada yang menjadi dokter, guru dan dosen. Sehingga, seolah ada ijma bolehnya wanita bekerja di luar rumah dengan syarat tertentu.

Lalu, keadaan menuntut para wanita Islam untuk terjun ke gelanggang parlemen. Tujuannya, untuk menghadapi wanita yang berpaham sekuler dan memegang kendali.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement