Rabu 12 Mar 2014 20:59 WIB

Tegaskan Kembali Makna Mampu Berhaji (2-habis)

Rep: Erdy Nasrul/ Red: Chairul Akhmad
Calon jamaah menyetorkan dana haji di sebuah bank syariah di Jakarta.
Foto: Republika/Wihdan
Calon jamaah menyetorkan dana haji di sebuah bank syariah di Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, Wakil Dekan Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Prof  Ahmad Mukri Ajie menjelaskan, istitha’ah adalah syarat wajib haji. Penjabarannya pun beragam.

Dia menguraikan, menurut Mazhab Hanafi, istitha’ah mencakup bekal dan kendaraan dengan syarat melebihi dua hajat asasinya, seperti utang, tempat tinggal, dan pakaian, begitu juga harus melebihi nafkah untuk orang yang ditinggalkannya. Menurut Mazhab Maliki, kemungkinan sampai ke Makkah dan tujuan ibadah haji tanpa mengalami kesulitan.

Bagi Mazhab Hambali  kemampuan adalah bekal dan kendaraan yang laik dengan syarat melebihi yang diperlukannya, seperti buku-buku, tempat tinggal, pembantu, nafkahnya, dan nafkah keluarganya.

Menurut Mazhab Syafi’i, istitha’ah ialah bekal dan kendaraan dengan syarat melebihi utang meskipun hutangnya belum habis waktu. Begitu juga nafkah orang yang ditinggalkan sampai dia kembali, tempat tinggal yang layak, dan alat-alat profesinya, serta jalan yang aman.

Dia berpandangan dalam konteks perhajian dan praktik dana talangan haji, tak jadi soal.  Hal itu merupakan usaha atau ikhtiar dalam rangka menunaikan haji. Namun demikian, kaum Muslimin tidak sepatutnya memaksakan diri untuk melaksanakan ibadah haji sebelum benar-benar istitha’ah dan tidak dianjurkan untuk memperoleh dana talangan haji.

Terutama, dalam kondisi antrean haji yang sangat panjang seperti saat ini. Sebaiknya, jelas Mukri, yang bersangkutan tidak menunaikan ibadah haji sebelum pembiayaan talangan haji dari Bank Penerima Setoran (BPS) Haji dilunasi.

Dia menegaskan pihak pemberi dana talangan haji wajib melakukan seleksi dan memilih nasabah penerima dana talangan haji tersebut dari sisi kemampuan finansial, standar penghasilan, persetujuan suami dan istri, serta tenor pembiayaan.

Hal ini dimaksudkan untuk menjamin tidak terabaikannya kewajiban-kewajiban yang menjadi tanggung jawab nasabah, seperti nafkah keluarga.

Pemerintah boleh memberlakukan kebijakan pembatasan kepada perbankan dalam menyalurkan pembiayaan dana talangan haji bila diperlukan. Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia merekomendasikan Bank Indonesia (BI) agar meningkatkan pengawasan pelaksanaan, mengingat bahwa saat ini daftar antrean haji sangat panjang.

  

Tetapi, imbuhnya, dana talangan haji harus mengedukasi umat. Dana tersebut jangan hanya menjadi produk perbankan yang tak sekadar diminati umat. “Nilai pendidikannya harus ada.”

Pendidikan yang dimaksudnya, antara lain, umat yang dikategorikan mampu menunaikan haji tanpa perlu berhutang. Menunaikan haji, jelasnya, harus dalam kondisi batin yang tenang. “Jangan sampai merasa tertekan karena utang,” jelasnya.

  

Program dana talangan haji ini, menurutnya, harus memberikan ketenangan batin. Mukri menjelaskan, ketenangan batin akan membuat seseorang nyaman dan khusyuk melaksanakan haji. Ketenangan seperti ini nantinya membuat seseorang mendapatkan pahala ribuan kali lipat ketika melaksanakan shalat, baik sunah maupun wajib, di Tanah Suci.

Ketenangan, menurutnya, juga akan terwujud manakala seseorang tidak lagi pusing memikirkan masalah keluarga. “Bagaimana bisa tenang bila ketika melakukan haji, tiba-tiba memikirkan masalah anaknya sakit,” imbuh Mukri.

Dia menjelaskan, haji akan tenang dilaksanakan tanpa adanya hutang finansial. Jadi, ketika melaksanakan haji, seseorang sudah tidak memiliki beban apa pun.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement