Kamis 27 Feb 2014 18:40 WIB

Fatwa MUI tentang Asuransi Haji (2)

Petugas imigrasi memeriksa kelengkapan dokumen paspor haji calon jamaah haji sebelum berangkat ke Tanah Suci (ilustrasi).
Foto: Republika/Yasin Habibi
Petugas imigrasi memeriksa kelengkapan dokumen paspor haji calon jamaah haji sebelum berangkat ke Tanah Suci (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Ada pula firman Allah surah al-Baqarah [2]: 279, “Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.”

Firman Allah dalam surah an-Nisa [4]: 29  “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian

memakan (mengambil) harta orang lain secara batil, kecuali jika berupa perdagangan yang dilandasi atas sukarela di antara kalian..”

Di antara hadis Nabi SAW yang menjadi landasan adalah hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah, “Tiada balasan bagi haji yang mabrur kecuali surga.”

Kemudian hadis Nabi SAW tentang beberapa prinsip bermuamalah, antara lain:  “Barang siapa melepaskan dari seorang muslim suatu kesulitan di dunia, Allah akan melepaskan kesulitan darinya pada hari kiamat; dan Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama ia (suka) menolong saudaranya” (HR. Muslim dari Abu Hurairah).

“Seorang mukmin dengan mukmin yang lain ibarat sebuah bangunan, satu bagian menguatkan bagian yang lain.” (HR Muslim dari Abu Musa al-Asy’ari)

 “Kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat yang mereka buat kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” (HR. al-Tirmidzi dari Amr bin

Auf).

“Rasulullah SAW melarang jual beli yang mengandung gharar.” (HR. Muslim, al-Tirmizi, al-Nasa’i, Abu Daud, dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah). 

“Orang yang terbaik di antara kamu adalah orang yang paling baik dalam pembayaran utangnya.” (HR. Bukhari dari Abu Rafi’).

“Tidak boleh membahayakan orang lain dan menolak bahaya dengan bahaya yang lain.” (HR. Ibnu Majah dari Ubadah bin Shamit, HR Ahmad dari Ibnu Abbas dan Malik dari Yahya).

Selain itu, DSN-MUI juga mendasari fatwanya tentang asuransi haji ini dengan menggunakan kaidah fikih yang menegaskan, “Pada dasarnya, segala sesuatu dalam muamalah boleh

dilakukan sampai ada dalil yang mengharamkannya.” (As-Suyuthi, Al-Asybah wan Nadzair, 60).

Ada pula kaidah, “Keperluan dapat menduduki posisi darurat.” (As-Suyuthi, Al-Asybah wan Nadzair, 63).

“Segala madharat (bahaya) harus dihindarkan sedapat mungkin.” (As-Suyuthi, Al-Asybah wan Nadzair, 62).

 “Tindakan Imam [pemegang otoritas] terhadap rakyat harus mengikuti mashlahat.” (As-Suyuthi, Al-Asybah wan Nadzair, 121).

Ada pula kaidah, “Keperluan dapat menduduki posisi darurat.” (As-Suyuthi, Al-Asybah wan Nadzair, 63).

“Segala madharat (bahaya) harus dihindarkan sedapat mungkin.” (As-Suyuthi, Al-Asybah wan Nadzair, 62).

 “Tindakan Imam [pemegang otoritas] terhadap rakyat harus mengikuti mashlahat.” (As-Suyuthi, Al-Asybah wan Nadzair, 121).

Ada pula kaidah, “Keperluan dapat menduduki posisi darurat.” (As-Suyuthi, Al-Asybah wan Nadzair, 63).

“Segala madharat (bahaya) harus dihindarkan sedapat mungkin.” (As-Suyuthi, Al-Asybah wan Nadzair, 62).

 “Tindakan Imam [pemegang otoritas] terhadap rakyat harus mengikuti mashlahat.” (As-Suyuthi, Al-Asybah wan Nadzair, 121).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement