REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Amidhan Shaberah mengatakan, ada tujuh persyaratan yang harus dipenuhi lembaga sertifikasi halal luar negeri (LSHLN) agar diakui oleh MUI.
"Ada tujuh persyaratan yang harus dipenuhi jika ingin bekerja sama dengan MUI," ujar Amidhan dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (26/2).
Tujuh persyaratan tersebut yakni organisasi Islam yang didukung oleh komunitas Muslim dan membantu peribadatan pendidikan dan dakwah setempat, mempunyai kantor permanen dan staf yang berkualitas.
Kemudian memiliki komisi fatwa minimum tiga ulama dan ilmuwan atau auditor halal, memiliki standar prosedur yang meliputi administrasi pengujian pabrik dan prosedur komisi fatwa MUI. "Juga memiliki administrasi yang baik, sehingga mudah untuk proses audit," kata Amidhan.
Selanjutnya, memiliki jaringan yang luas dan menjadi anggota dewan makanan halal dunia atau World Halal Food Council (WHFC), serta memiliki kapabilitas bekerja sama dengan MUI dalam mengawasi produk halal.
"MUI memiliki 44 LSHLN di seluruh dunia. Dan hanya ada satu yang bermasalah, yakni di Australia tapi sudah selesai delapan tahun yang lalu," ujar Amidhan.
Perusahaan yang bermasalah itu adalah Australian Halal Food Services (AHFS). AHFS diskors pada April 2013 karena telah melanggar ketentuan sistem negara, menyembelih di salah satu abbatoirnya bertentangan dengan syariah. Selain itu, AHFS juga mengabaikan pengawasan kepada abbatoirnya dengan mengedarkan blanko kosong.
Amidhan menambahkan, peran LSHLN diperlukan dalam proses sertifikasi halal untuk bahan baku yang digunakan pada produk akhir saja. Sedangkan penerbitan sertifikat pengakuan LSHLN diberikan secara gratis. Pembiayaan dalam proses pengakuan hanya untuk mengganti biaya perjalanan dan honor auditor.