Selasa 25 Feb 2014 18:37 WIB

Perjumpaan dengan Allah-Liqa' Allah (3)

Ilustrasi
Foto: Wordpress.com
Ilustrasi

Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar

Kedua, al-ittihad yang dikembangkan oleh Abu Yazid al-Busthami, yaitu seseorang yang merasa dirinya betul-betul bersatu dengan Tuhan, sehingga yang dilihat dan dirasakan hanya satu wujud.

Identitas kemanusiaan sudah hilang dan yang tinggal hanya satu wujud. Abu Yazid melukiskan pengalamannya dengan syair, “Aku bermimpi melihat Tuhan. Aku pun bertanya: Tuhanku, apa jalannya untuk sampai kepada- Mu?, Tuhan menjawab: Tinggalkan dirimu dan datanglah.”

Pada saat Abu Yazid meninggalkan dirinya, saat itulah merasakan penyatuannya dengan Tuhan. Jika menurut konsep hulul al-Hallaj diri seseorang tidak hancur dan tidak hilang, tetap dua wujud (Tuhan dan manusia), tetapi bersatu dalam satu tubuh, menurut konsep Abu Yazid, diri seseorang hancur dan yang ada hanya diri Tuhan.

Seseorang yang ingin berjumpa dengan Tuhannya dapat melakukan upaya yang disebutnya dengan mendaki (taraqqi). Pada saat manusia melakukan pendakian, Tuhan akan “turun” (tanazul) hingga terjadi pertemuan dan penyatuan antara keduanya. Pada saat penyatuan terjadi, keluarlah ungkapan-ungkapan “aneh” (syuthuhat) sebagaimana disebutkan di atas.

Wujud perjumpaan dengan Tuhan sangat personal. Setiap orang mempunyai pengalaman spiritual masing-masing. Dua bentuk telah dijelaskan dalam artikel sebelumnya yakni, hulul dan ittihad. Sedangkan, yang ketiga ialah wahdah al-wujud.

Konsep ini diperkenalkan oleh Muhyiddin Ibn Arabi, yaitu unsur nasut dalam diri manusia dikonsepsikan sebagai makhluk (al-khalq) dan unsur lahut dikonsepsikan sebagai Haq (al-Haq). Semua makhluk sebenarnya mempunyai kedua aspek ini.

Aspek luar atau lahir (dhahir/'aradl/accident) disebut al-khalq dan aspek dalam (bathin/jauhar/substance) disebut al-haq. Aspek pertama disebut mempunyai sifat kemakhlukan dan aspek kedua mempunyai sifat ketuhanan.

Tuhan ingin melihat diri-Nya di luar diri-Nya maka terciptalah alam ini. Ibnu Arabi seorang sufi sekaligus filsuf menggambarkan alam ini sebagai cerminan (tajalli) dari Tuhan.

Di kala Ia ingin melihat dirinya, Dia melihat alam. Pada setiap benda (makhluk) terdapat unsur atau sifat ketuhanan. Dari sinilah muncul paham kesatuan. Yang ada dalam ini kelihatannya banyak, tetapi sebenarnya satu.

Ibarat seseorang melihat dirinya dalam beberapa cermin. Mirip yang dikatakan oleh filsuf Parmenides, “Yang ada itu satu, yang banyak itu tidak ada.” Yang berwujud selain Tuhan adalah wujud ilusi (palsu). Wujud yang sebenarnya atau wujud hakiki ialah Tuhan.

Jika manusia ingin berjumpa dengan Tuhannya cukup menghayati secara mendalam alam raya ini. “Siapa yang memahami dirinya maka ia akan memahami Tuhannya.” (man 'arafa nafsahu fa qad 'arafa Rabbahu).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement