Rabu 05 Mar 2014 17:34 WIB

Tentang Wahdatul Wujud (2)

Ilustrasi
Foto: Blogspot.com
Ilustrasi

Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar

Dalam istilah tasawuf dikatakan, man fanaya 'an jahlihi baqiya bi 'ilmihi (Jika kejahilan hilang maka yang tinggal ialah pengetahuan), man faniya 'an al-aushaf al-madzmumah baqiya bi al-aushaf al-mahmudah (Barang siapa yang menghancurkan akhlak buruknya maka yang tinggal ialah sifat baiknya).

Dalam ungkapan lain, man fanaya 'an aushafihi baqiyat aushaf al-Haq (Barang siapa yang menghilangkan sifat-sifatnya maka ia mempunyai sifat-sifat Tuhan).

Konsep hulul diperkenalkan oleh al-Hallaj (858- 922M). Kata hulul berarti penyerapan (infusion), yakni menyerap keseluruh bagian objek yang dapat menerimanya (the infusion spreads to all part of the receptive object). 

Hulul adalah diri seseorang tidak hancur dan tidak hilang seperti konsep ittihad-nya Abu Yazid yang menganggap diri seseorang hancur dan yang ada hanya diri Tuhan. Manusia tetap berada dalam dua wujud (Tuhan dan manusia), tetapi bersatu dalam satu tubuh.

Seseorang yang ingin berjumpa dengan Tuhannya dapat melakukan upaya yang disebutnya dengan mendaki (taraqqi). Pada saat manusia melakukan pendakian maka pada saat itu pula Tuhan akan “turun” (tanazul) hingga terjadi pertemuan dan penyatuan antara keduanya.

Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya, setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan. Seseorang yang ingin berjumpa dengan Tuhannya dapat melakukan upaya yang disebutnya dengan mendaki (taraqqi).

Pada saat manusia melakukan pendakian maka pada saat itu pula Tuhan akan “turun” (tanazul) hingga terjadi pertemuan dan penyatuan antara keduanya.

Pada saat penyatuan terjadi, keluarlah ungkapan-ungkapan “aneh” (syuthhat), seperti “Mahasuci Zat yang sifat kemanusiaan-Nya membukakan tabir rahasia cahaya ketuhanan-Nya yang agung. Kemudian kelihatan bagi makhluk-Nya dengan nyata dalam bentuk manusia yang makan dan minum.”

Manunggaling kawula Gusti dikembangkan oleh Syekh Siti Jenar yang dikenal dengan nama Sitibrit, Lemahbang, dan Lemah Abang. Ajarannya agak mirip dengan konsep hulul al-Hallaj yang seolah-olah Tuhan ada dalam diri manusia, yaitu di dalam budi.

Pemahaman inilah yang dipropagandakan oleh para ulama pada masa itu, mirip dengan konsep al-Hallaj yang berkaitan dengan kesamaan sifat Tuhan dan manusia. Ketika Tuhan hendak menciptakan makhluk, Ia terlebih dahulu melihat dirinya (tajalli al-haq li an-nafs).

Dalam kesendirian-Nya itu terjadilah dialog antara Tuhan dan diri-Nya sendiri, dialog yang  di dalamnya tak terdapat kata-kata ataupun huruf-huruf. Yang dilihat Allah hanyalah kemuliaan dan ketinggalan zat-Nya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement