Jumat 21 Feb 2014 08:00 WIB

Lintasan Sejarah Kesultanan Gowa-Tallo (2-habis)

Ilustrasi
Foto: Jejakcelebes.blogspot.com
Ilustrasi

Oleh: Afriza Hanifa  

Politik itu pun berjalan baik. Pedalaman Bugis dan perairan Bone mampu dikuasai Gowa-Tallo.

Selain itu, kerajaan memperluas wilayah dan pada saat yang sama banyak pedagang dari kepulauan nusantara yang menetap di Makassar. Mereka terdiri atas pedagang Melayu dari Pahang, Patani, Johor, Campa, Minangkabau, dan Jawa.

Sewang mengatakan, berdasarkan Lontara Pattorioloang (Lontara Sejarah), pada masa pemerintahan Raja Gowa X Tonipalangga, terdapat sebuah perkampungan Muslim di Makassar.

Penduduk kampung Muslim terdiri atas para pedagang Melayu tersebut. Bahkan, pada masa pemerintahan raja berikutnya, Tonijallo (1565-1590 M), berdiri sebuah masjid di Manggallekanna, tempat para pedagang itu bermukim.

 

Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto dalam Sejarah Nasional Indonesia III: Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Islam di Indonesia menuturkan, baik sumber asing maupun naskah kuno memaparkan, kehadiran Islam di Makassar telah ada sejak abad sebelum kedatangan Tome Pires (1512-1515 M).

Pasalnya, penjelajah Barat itu menceritakan bahwa Makassar sudah melakukan hubungan perdagangan dengan Malaka, Kalimantan, dan Siam. Akan tetapi, penguasa-penguasa lebih dari 50 negeri di Pulau Sulawesi saat itu masih menganut berhala atau belum Islam.

Memeluk Islam

Meski telah ada permukiman Muslim dan masjid di sana, Islam baru benar-benar tampak saat Kerajaan Gowa-Tallo memeluk Islam. Secara resmi, raja dari Gowa-Tallo memang baru memeluk Islam pada 22 September 1605 M.

Menurut Sewang, para pemukim dari Melayu berinisiatif mendakwahkan Islam kepada para raja. Mereka pun kemudian mengundang tiga ulama dari Kota Tengah (Minangkabau) untuk mengislamkan Kerajaan Gowa-Tallo.

“Inisiatif untuk mendatangkan mubaligh khusus ke Makassar sudah ada sejak Anakkodah Bonang (Nahkodah Bonang 3), seorang ulama dari Minangkabau sekaligus pedagang, berada di Gowa pada 1525. Akan tetapi, baru berhasil setelah memasuki awal abad 17 dengan kehadiran tiga orang mubaligh yang bergelar datuk dari Minangkabau,” ujar Sewang.

Para mubaligh yang datang ke Makassar disebut dengan Dalto Tallu (Tiger Dato) atau sumber lain menyebut Datuk Tellue (Bugis) atau Datuk Tallua (Makassar). Ketiganya bersaudara dan berasal dari Kota Tengah, Minangkabau. Mereka, yakni Dato’ri Bandang (Abdul Makmur atau Khatib Tunggal), Dato’ri Pattimang (Dato’ Sulaemana atau Khatib Sulung), Dato’ri Tiro (Abdul Jawad alias Khatib Bungsu).

Marwati dan Nugroho menyebutkan, pada awalnya para mubaligh tersebut berhasil mengislamkan Raja Luwu, yaitu Datu’ La Patiware’ Daeng Parabung dengan gelar Sultan Muhammad pada 15-16 Ramadhan 1013 H atau 4-5 Februari 1605 M. Kemudian, mereka pun berhasil mengislamkan elite Kerajaan Gowa-Tallo.

Karaeng Matowaya dari Tallo yang bernama I Mallingkang Daeng Manyonri (Karaeng Tallo) mengucapkan syahadat pada Jumat sore, 9 Jumadil Awal 1014 H atau 22 September 1605 M. Ia pun kemudian bergelar Sultan Abdullah. Selanjutnya, Karaeng Gowa I Manga’ rangi Daeng Manrabbia mengucapkan syahadat pada Jumat, 19 Rajab 1016 H atau 9 November 1607 M.

Selain itu, Prof Andi Zainal dalam Sejarah Sulawesi Selatan menuturkan, ketiga ulama tersebut tidak datang serta-merta langsung mendakwahkan Islam kepada para raja. Mereka terlebih dahulu mempelajari kebudayaan Bugis-Makassar di Riau dan Johor.

Pasalnya, di dua tempat tersebut banyak etnis Bugis-Makassar bermukim. Baru setelah sampai di Makassar, mereka menemui para pedagang Melayu yang tinggal di sana. Dari keterangan merekalah diketahui bahwa raja yang paling dihormati adalah Datuk Luwu’, sedangkan yang paling kuat dan berpengaruh ialah Raja Tallo dan Raja Gowa. Maka, tiga raja itulah yang menjadi objek dakwah para ulama Melayu tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement