REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: KH Ali Mustafa Yaqub
Dalam surah Yasin, ada kisah menarik yang berkaitan dengan dakwah. Dalam ayat 13 dan seterusnya, Allah SWT memerintahkan Nabi Muhammad SAW menceritakan kisah kepada kaum musyrikin Makkah yang mendustakan Nabi.
Kisah itu adalah perilaku orang-orang dalam menyikapi para dai (utusan Allah). Disebutkan, sebuah negeri yang menurut beberapa sumber disebut negeri Anthakiyah didatangi oleh tiga orang utusan Allah.
Masing-masing utusan bernama Shadiq, Shaduq, dan Syallom. Dalam riwayat lain disebutkan utusan itu bernama Sam’un, Yohana, dan Bolus (Paulus).
Mereka memperkenalkan diri kepada warga negeri Anthakiyah. Mereka merupakan para dai yang diutus Nabi Isa al-Masih AS untuk berdakwah kepada warga Anthakiyah agar menyembah Allah dan tidak menyekutukannya.
Warga Anthakiyah saat itu dipimpin seorang raja bernama Antikhos yang menyembah patung. Warga Anthakiyah ternyata tidak merespons dakwah para dai tersebut.
Mereka menolaknya, bahkan mengatakan para dai tersebut seperti layaknya warga Anthakiyah. Mana mungkin para dai memperoleh wahyu dari Allah. Sekiranya dai-dai itu utusan Allah, niscaya mereka bukan manusia, melainkan malaikat.
Mereka bahkan mengatakan, keberadaan para dai itu mencelakakan kehidupannya sendiri. Mereka mengancam apabila dai-dai tersebut tidak menghentikan dakwahnya, akan dilempari batu dan disiksa.
Melihat perilaku warga Anthakiyah yang tidak mau menerima ajakan dakwah para dai, kemudian datanglah seseorang dari tempat jauh bernama Habib al-Najjar.
Ia berusaha menolong para dai dari ancaman penyiksaan dan pembunuhan. Habib al-Najjar menasihati kaumnya agar mengikuti ajakan (dakwah) para dai.
Lalu, Habib mengatakan ikutilah orang-orang yang dalam berdakwah tidak meminta imbalan karena mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk dari Allah (QS Yasin [36]: 21).
Kisah Habib al-Najjar ini kemudian menjadi firman Allah karena difirmankan dalam Alquran. Ayat 21 dari surah Yasin ini sangat tepat dijadikan petunjuk dalam menyikapi perilaku sejumlah dai yang dalam dakwahnya menyimpang dari tuntunan Islam.
Menurut kajian ilmu Ushul Fiqh, teks Alquran seperti itu memiliki dua pengertian (dalalah), yaitu dalalah manthuq (pengertian tekstual atau tersurat) dan dalalah mafhum (pengertian kontekstual atau tersirat).
Dalalah mafhum (tersirat) ada dua macam, mafhum muwafaqah dan mafhum mukhalafah. Mafhum muwafaqah adalah pengertian tersirat yang sesuai dengan pengertian tersurat.
Sedangkan, mafhum mukhalafah adalah pengertian tersirat yang berlawanan dengan pengertian tersurat. Menurut para ahli Ushul Fiqh, baik manthuq (tersurat) maupun mafhum (tersirat) adalah hujjah (dalil) dalam syariat Islam.
Mafhum mukhalafah dari ayat di atas adalah Allah memerintahkan kita agar tidak mengikuti para dai yang dalam berdakwah meminta imbalan. Sebab, mereka merupakan orang-orang sesat.
Apabila mengikuti dai yang dalam berdakwah meminta imbalan saja diharamkan oleh Allah melalui ayat di atas, apalagi mengikuti dai yang dalam berdakwah memasang tarif.
Berdasarkan kaidah hukum Islam, apa yang haram diambil haram juga diberikan. Maka, haram hukumnya memberikan imbalan kepada dai yang dalam dakwahnya meminta imbalan.
Apabila dalam dakwahnya dai tidak meminta imbalan, menurut mayoritas ulama, kita boleh memberikan imbalan dan dai boleh menerimanya. Semoga Allah melindungi kita semua dari larangan-larangan-Nya.