REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ani Nursalikah
Muslim dapat ikut menjaga keamanan dan ketertiban saat perayaan Natal.
JAKARTA – Umat Islam diminta mampu membedakan antara muamalah dan ibadah terkait Natal. Sekretaris Umum Persatuan Islam (Persis) Irfan Safruddin mengatakan, perayaan Natal merupakan ibadah umat Nasrani.
Karena itu, umat Islam mestinya tak menyampaikan ucapan selamat Natal atau merayakan Natal bersama. “Ini merupakan ibadah mereka, kita tak boleh mengikutinya,” kata Irfan, Senin (23/12). Sikap ini, ujar dia, sama dengan sikap Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat.
Dalam hal ini, mesti ada garis yang tegas. Berbeda dengan pengamanan terhadap perayaan Natal. Umat Islam, kata Irfan, boleh ikut serta mengamankan lokasi perayaan. Jangan sampai ada gangguan terhadap mereka saat menjalankan ibadah dalam rangkaian Natal.
Bahkan, kalau seorang Muslim diminta tolong tetangganya yang Nasrani untuk menjaga rumahnya ketika pergi ke gereja merayakan Natal itu tak masalah. Ini bagian dari hubungan baik antarumat beragama. “Kami mendukung,” kata Irfan.
Dalam Fatwa MUI pada 7 Maret 1981 dinyatakan, mengikuti upacara Natal bersama bagi umat Islam hukumnya haram. MUI menyatakan, perayaan Natal bersama kerap disalahartikan sebagian umat Islam dan dianggap sama dengan perayaan maulud Nabi Muhammad.
Karena salah pengertian tersebut, ada sebagian orang Islam yang ikut dalam perayaan Natal dan duduk dalam kepanitiaan Natal. Padahal, bagi orang-orang Kristen perayaan Natal merupakan bagian dari kegiatan ibadah mereka.
Ketua MUI Yunahar Ilyas juga menyatakan, umat Islam tak boleh mengucapkan selamat Natal. Sebab, Natal bagi Nasrani merupakan perayaan kelahiran Yesus Kristus. Ia juga mengacu pada fatwa MUI 1981 saat masih diketuai Buya Hamka.
Terkait Natal, umat Islam cukup bersikap toleran, yakni tak mengganggu mereka saat merayakannya. Yunahar mengatakan, toleransi beragama suatu keharusan. Ada rasa saling menghormati dengan tetap berpegang teguh pada keyakinan masing-masing.
Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Niam Sholeh mengatakan, pada prinsipnya apa pun agamanya harus saling menguntungkan dan tidak mengintervensi. “Kita semua sudah dewasa dan sudah tahu batasan teologisnya,” ujarnya.
Bendahara Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Anwar Abbas mengatakan, perlu upaya mencari kosakata pengganti ucapan selamat Natal yang tidak merusak akidah Muslim. Ia beralasan, Islam mempunyai keyakinan berbeda dengan Nasrani.
Di antaranya, dalam melihat sosok Isa. Bagi umat Kristiani, Isa adalah Tuhan yang lahir ke dunia. Sedangkan, bagi umat Islam, Isa adalah manusia biasa yang lahir ke dunia. Isa kemudian menjadi nabi. Dalam bahasa Yunani, ujar Anwar, Natal artinya lahir atau maulud.
Muslim boleh merayakan kelahiran Isa. “Namun, perlu diyakini dalam diri umat Islam merayakan kelahiran seorang nabi, bukan Tuhan,” kata Anwar. Ia menambahkan, penyampaian ucapan selamat Natal menimbulkan masalah secara teologis.
Sebab, ucapan itu berarti pengakuan bahwa Isa sebagai Tuhan. Kalaupun mau mengucapkan kalimat itu, yakini bahwa Isa bukanlah Tuhan yang lahir ke dunia. Lebih aman kalau ucapan itu diganti dengan “happy holiday” atau “semoga kita semua sejahtera”.
Sekjen Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Marsudi Syuhud menyatakan, tak soal memberikan ucapan selamat Natal. “Sepanjang kita meyakini Nabi Isa sebagai nabi yang diutus Allah, dalam hal muamalah mengucapkan selamat Natal itu tidak apa-apa.”
Marsudi merujuk Surah Maryam ayat 30 yang menegaskan Isa hamba Allah. Dan, Allah memberikan kepadanya Injil. Dalam ayat tersebut, jelas Nabi Isa adalah seorang nabi utusan Allah. Keyakinan inilah yang harus ada dalam diri setiap Muslim.